Oleh: Nikodemus Niko
Mahasiswa Sosiologi Universitas Tanjungpura
Pontianak
Semenjak Pemilu Capres
dan Cawapres beberapa bulan lalu, sudah berhembus berita bahwa BBM bersubsidi akan
di naikkan. Hal ini berarti pemerintah akan mencabut subsidi BBM. Hal itu
semakin jelas, saat kini awal pemerintahan presiden Jokowi. Dari beberapa
informasi yang saya baca dari media online seperti www.merdeka.com menyebutkan bahwa mulai 1
November 2014 pemerintak akan menaikkan BBM, dengan alasan penghematan anggaran
negara. Penghematan tersebut dapat mencapai 20 triliun untuk tahun ini.
Apapun alasannya,
kenaikan BBM (dalam hal ini pencabutan subsidi BBM) akan berdampak buruk bagi
masyarakat kecil. Meski katanya hal itu akan berdampak positif bagi
kementerian, yang katanya akan mengurangi defisit anggaran dan penghematan
anggaran. Tapi, tidak bagi orang kecil seperti: petani, peternak, buruh, dan
masih banyak lagi. Baik mereka yang hidup di pemukiman kota maupun di desa. Mereka
akan menangis, ketika harga beras Rp.10.000 kemudian mereka tukar dengan 4
kilogram karet (berarti 1 kilogram karet seharga Rp2.500). Sementara pendapatan
hasil karet misalnya hanya 5 kilogram. Tersisa hanya Rp2.500, bagaimana untuk
kebutuhan pokok lainnya? Seperti garam, micin, sayur mayur atau bahkan untuk
membeli susu anak-anaknya? Mereka akan menangis. Percayalah.
Saya ingin sedikit
bercerita terlebih dahulu. Ini mungkin pengalaman kecil yang sangat berharga
untuk saya. Bertandang langsung di kementrian perekonomian dengan undangan
khusus, merupakan suatu kehormatan tersendiri bagi saya. Saat itu saya
dihadapkan dengan 4 orang sahabat dari berbagai kota, saya tidak mengetahui
nama mereka, yang saya ketahui mereka berasal dari provinsi Sumatera Barat,
provinsi Nusa Tenggara Barat, provinsi DKI Jakarta dan saya sendiri dari
Kalimantan Barat. Sesi ini disebut Leaderless
Group Disscusion, sehingga tidak ada diantara kami yang harus menjadi ketua
group dalam diskusi ini. Tema besarnya
adalah kenaikan BBM ini.
Saya adalah orang
pertama acungkan tangan saat penilai team mempersilakan untuk ber-argumen. Saya
menyampaikan ketidaksetujuan saya jika pemerintah mencabut subsidi BBM, bukan salah ibu mengandung bila badan telah
menjadi dua (pepatah dari mana sih? Saya ngarang sendiri). Iya, dalam
artian bukan salah adanya subsidi bila terjadi defisit anggaran. Kementrian itu
sendiri kerjanya hanya “korupsi” uuppss!
Ini fakta lho ya, itu mantan menteri ESDM yang menggelapkan uang rakyat itu,
sumber uangnya bisa saja dari anggaran tersebut. Benahi dahulu kementriannya,
jangan mengorbankan rakyat untuk jadi kambing potong. (errr,,, jadi gaje yah).
Oke! Kembali ke topik. Hingga
pertengahan dan akhir diskusi, tiada satupun dari ketiga sahabat saya itu yang
sepandangan dengan saya. Bahwasannya mereka sangat setuju jika BBM dinaikkan,
dengan alasan agar masyarakat bisa mandiri dan tidak manja. Oh, God. Pada dasarnya ini tujuannya baik
sekali, tapi saya tetap kekeh. Tidak setuju bila subsidi BBM dicabut. Tiba-tiba
aku teringat masyarakat di kampungku. “Apapun alasannya, saya tetap menolak
adanya kenaikan BBM. Saya adalah anak seorang petani. Harga karet melonjak
turun, padi juga begitu. Sementara harga sembako melonjak naik. Kemudian di
tambah lagi kenaikan BBM dan subsidi BBM dicabut pemerintah, rakyat kecil akan
menjerit.” Saya bicaranya dengan nada sopan dan halus, karena ini Leaderless. Dan
hasil akhirnya pun, hanya saya yang tetap bertahan pada pendirian saya.
Oke, out the topic about leaderless. Kembali pada
pokok permasalahan, kenaikan BBM. Melihat aktivitas masyarakat kecil, yang
bertahan pada hasil komoditi. Semisal, petani karet (di Kalimantan Barat) yang
mengandalkan karet sebagai penghasil utama, atau nelayan mengandalkan hasil
tangkapan (ikan, udang, cumi-cumi, dll). jika BBM akan dinaikkan tanpa adanya
kenaikan barang komoditi masyarakat, akan semakin membuat masyarakat menangis
tanpa bisa berbuat apa-apa, pasrah. Siapa lagi yang bisa membantu mereka,
selain mereka sendiri dan Tuhan nya. Berharap pada pemerintah, entahlah. Mungkin
mereka terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar