Oleh: Nikodemus Niko
Lajunya arus
informasi global masa kini mendorong kita sebagai generasi muda untuk menjawab
berbagai tantangan dalam menyaring ilmu kekinian. Bila anak muda masa kini
tidak cerdik, bisa saja globalisasi menghancurkan bangsa dengan mudahnya.
Terlebih peran seorang jurnalis kampus yang merupakan corong informasi bagi
seluruh masyarakat kampus. Sebagai seorang jurnalis kampus, tentu saja kita
harus mampu menaklukkan hal tersebut. Kita dituntut untuk mengisi otak kita
dengan ilmu secara up to date. Mengutip
pendapat seorang jurnalis dan News Anchor RCTI, Putra Nababan dalam tabloid
mahasiswa UNM Edisi 160, dia mengatakan bahwa seorang jurnalis itu harus memiliki ilmu sebagai seorang doktor. Dimana
ilmu seorang wartawan tidak boleh dibawah ilmu yang dimiliki narasumber.
Dari kutipan
pendapat tersebut berarti seorang jurnalis mahasiswa memiliki tantangan
tersendiri dalam mengemban tugas jurnalistiknya. Bukan hal yang baru bagi
mahasiswa yang memiliki jiwa leadership. Semakin
tertantang semakin seorang mahasiswa itu menggali dan terus menggali potensi
dirinya, setidaknya itu hal yang saya rasakan. Pengalaman adalah guru paling
berharga. Begitu pepatah lama yang pernah saya baca, sebab itu sebagai
mahasiswa yang masih cukup energik, sudah seharusnya untuk mencari pengalaman
itu tidak hanya sekedar duduk dan menghafal materi kuliah.
Jurnalis kampus,
bagi saya itu sebutan yang cukup keren bagi seorang mahasiswa yang berkecimpung
di dunia media dan jurnalistik dimana ia menempuh studi. Dimana seorang
mahasiswa yang sering disebut sebagai agent
of change itu benar-benar ada dalam diri seorang jurnalis kampus. Bagaimana
hal itu dapat terlaksana? Dengan menulis, iya hanya dengan sebuah tulisan kita
bisa menjadi agen perubahan dalam masyarakat kampus bahkan masyarakat luas.
Memang, pada dasarnya seorang mahasiswa sudah pasti bisa menulis. Mungkin
menulis sebuah paper tugas kuliah misalnya. Tapi, yang membedakan mereka dengan
seorang jurnalis mahasiswa adalah ketepatan tulisannya. Bila menulis paper atau
makalah hanya untuk memenuhi kewajiban mata kuliah semata atau value oriented. Nah, tulisan seorang jurnalis mahasiswa tentu berbeda lagi, tulisan
inilah yang dituntut mengandung unsur agent
of change. Bagi saya memiliki nilai tambah.
Sebenarnya
realisasi seorang jurnalis mahasiswa tidak hanya terpaku dalam sebuah tulisan
semata. Kita mulai belajar dari organisasi yang kecil dalam lingkup kampus
untuk membentuk softskill sebelum
kita tejun ke masyarakat terlebih dalam dunia kerja. Hanya segelintir mahasiswa
saja yang sadar akan pentingnya masuk dalam sebuah organisasi kampus. Dengan
menjadi warga kampus yang berorganisasi, secara tidak langsung kita menanamkan
karakter kita sebagai mahasiswa dengan kegiatan positif. Seorang jurnalis
kampus harus memiliki dedikasi positif terhadap dirinya sendiri dan organisasinya.
Mengapa? Untuk menjadi agen perubahan bagi bangsa ini adalah tugas kita sebagai
mahasiswa, dan diperlukan motivasi yang besar untuk mewujudkannya. Motivasi itu
tentu datang dari diri kita sendiri.
Seperti yang
saya ungkapkan dalam judul tulisan ini, bahwa seorang jurnalis kampus ‘harus’
berotak Ph.D itu artinya seorang jurnalis mahasiswa harus mampu mengimbangi
pengetahuan narasumber yang mungkin sudah bergelar doktor. Dalam sebuah
peliputan, tentu jurnalis mahasiswa tidak segan untuk mewawancarai dosen yang
gelarnya doktor atau bahkan professor. Disamping itu jurnalis mahasiswa juga
dituntut kritis, mampu membuat suatu wacana peliputan dan dapat melihat
permasalahan dari berbagai sudut pandang. Tentu hal ini tuntutan yang sama bagi
seorang doktor, bukan? Dalam menulis berita seorang jurnalis kampus juga harus
mempertimbangkan pengaruh yang diberikan sebuah berita terhadap pembaca, dalam
hal ini adalah masyarakat kampus.
*Penulis
adalah Demisioner Lembaga Pers Mahasiswa Mimbar Untan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar