Secarik Asa yang Hilang
Tulisan
pengantar ini tidak dimuat pada lembaran halaman buku karena saya tidak mungkin
sanggup mendeskripsikan ‘mereka’ secara vulgar, karena saya juga punya hati
nurani. Iya, mereka adalah para ODHA yang sering saya temui saat penulisan buku
ini disertai dengan penulisan tugas akhir saya, yang artinya adalah buku ini
merupakan hasil edit ulang tugas akhir saya pada saat menyelesaikan studi S1.
Pada saat mengerjakan tugas akhir ini saya merasakan pengalaman hidup serta
tantangan yang sangat luar biasa.
Awal
mula ide ini muncul ketika saya membaca sebuah berita di media online (saya
lupa nama medianya) yang memberitakan bahwa masyarakat tidak tidak ada yang
memperdulikan jenazah orang yang mengidap HIV dan AIDS, dan itu terjadi di
Pontianak. Kemudian saya sangat menyukai kuliah yang topiknya “masalah sosial”,
karena saya sendiri berada di departemen Sosiologi. Kemudian lama ketertarikan
saya terhadap isu HIV dan AIDS kemudian saya fokus pada penyelesaian outline
penelitian skripsi yang harus disetujui ketua Prodi. Pada saat itu saya menulis
outline proposal tentang “Pola Komunikasi Gay di Kalangan Pelajar dan
Mahasiswa: Studi Kasus di Kota Pontianak”. Karena sebelumnya judul ini pernah
saya jadikan paper dalam tugas mata kuliah Sosiologi Komunikasi. Namun, ketua
prodi menolak judul itu mentah-mentah dengan alasan penelitian yang terlalu
ekstrem, saya sungguh meyakinkan beliau bahwa saya mampu menyelesaikan nya,
tapi saya toh tidak bisa berbuat apa-apa. Lama saya berpikir, sekitar dua
minggu berlalu saya mencari ide yang berbeda dari skripsi-skripsi yang saya
baca di perpustakaan kampus. Dan muncul lah ide tentang HIV dan AIDS itu, toh
yang menjadi subjeknya termasuk Gay, Waria dan LSL (bisexual). Dan ide itu akhirnya diterima setelah lama ngobrol dan
meyakinkan Kaprodi (waktu itu saya tidak menyebutkan bahwa kaum pelangi menjadi
salah satu fokus penelitian, karena pasti akan di tolak lagi).
Saya
memulai dari tidak mengerti apa-apa tentang kehidupan mereka, namun saat
mengerjakan tugas akhir saya menemukan banyak sekali pelajaran hidup.
Ketertarikan saya pada masalah HIV dan AIDS ini kemudian karena saya
betul-betul ingin mengetahui, bagaimana sih kehidupan mereka yang sudah
terlanjur terkena HIV dan AIDS. Saya yang tidak pernah mengetahui keberadaan
mereka, kemudian dengan bantuan lembaga Komisi Penanggulangan AIDS saya dapat
mengunjungi para pengidap HIV dan AIDS di salah satu tempat pemberdayaan, makan
dan minum bersama mereka. Pada saat itu yaitu sosialisasi dan pembagian kondom
bagi mereka yang sex active karena
notabene-nya peserta sosialisasi ini kalangan Waria, Gay dan juga Wanita pekerja
seks. Saat itulah saya diberi kesempatan untuk berdiskusi terbuka dengan
mereka, setelah saya diperkenalkan oleh salah satu staf KPA. Saya yang tidak
pernah mengetahui dunia malam nan penuh gemerlap di kota Pontianak, kemudian
saya menelusurinya dalam penelitian ini, dan yang lebih berharga lagi selama
empat tahun hidup di Pontianak saya tidak pernah mengunjungi kampung Beting
yang katanya adalah kampung Narkoba terbesar di Pontianak bahkan di Kalimantan
Barat, dan saya mengunjunginya dengan ikut mensosialisasikan bahaya Narkoba
disana bersama staf Komisi Penanggulangan AIDS yang juga adalah senior saya di
Kampus, pak Zaini. Beliau lulus pada tahun 1996 dari kampus yang sama dengan
saya, dan beliau lah yang banyak membantu mengarahkan saya. Hal-hal kecil yang
membuat saya lebih bersyukur lagi dalam hidup ini adalah ketika saya juga
mengunjungi tempat therapi bagi para
pecandu Narkoba, serta menyaksikan sendiri bagaimana mereka seperti ‘ngobat’ atau sakaw dalam therapi itu.
Mengunjungi
pengidap HIV dan AIDS merupakan hal yang tidak umum, bahkan keberadaan dan
identitas mereka di secret oleh
lembaga KPA. Namun saya lebih senang dapat menjadi bagian dari kehidupan mereka
secara langsung. Mereka tidak mengerikan kok, mereka tidak menjijikkan kok,
tidak perlu stigma tidak perlu diskriminasi, toh kita sama-sama manusia hidup,
bukan manusia mati. Mereka bukan penjahat yang harus dimusuhi, dan bukan pula
setan yang harus dijauhi. Mereka adalah bagian dari masyarakat kita, mereka
adalah saudara-saudara kita. HIV dan AIDS tidak menular kok, HIV tidak akan menular
jika kita bersalaman, berpelukan, atau menggunakan gelasa dan piring bareng.
Sangat
banyak hal yang membuat saya sedih, tentang cerita-cerita mereka yang mengidap
HIV dan mereka yang sudah pada masa AIDS. Dan cerita-cerita dari Ibu kepala KPA
yang sangat ramah dan baik hatinya, cerita-cerita staf yang menangani Pecandu
Narkoba, cerita dari staf yang menangani kasus pada Gay, Waria dan LSL dan
cerita dari staf yang menangani kasus pada Wanita pekerja seks. Semua saya
rekam dan saya memilih untuk tidak menceritakannya ke dalam buku ini. Saya
sudah berjanji kepada ibu ketua KPA Pontianak untuk menceritakan apa yang saya
temukan hanya dalam batas wajar dan batas penelitian saja. Bagi saya
mempelajari kehidupan ODHA dengan masuk dalam dunia mereka secara langsung
bukan pekerjaan yang mudah, bahkan diri saya sendiri yang menerima
stigma-stigma itu dari pihak luar yang mengetahui. Saya masuk dalam dunia
Penasun, saya di-stigma sebagai pecandu narkoba juga. Saya masuk dalam dunia
waria, saya juga disebut sebagai banci. Dan lagi saya masuk dalam dunia Gay,
saya disebut Gay. Saya tidak tersinggung dengan yang saya terima saat itu. Yah,
cukup hanya saya dan Tuhan saja lah yang tahu, tidak perlu ada stigma atau pun
label untuk manusia mana pun. Toh, yang memberi stigma belum tentu hidupnya
lebih baik.
Sampul Buku "Stigma ODHA: Fenomena Pontianak" |
Stigma ODHA: Dari Skripsi ke Buku
Suatu
ketika saya ditanya oleh salah satu teman saya di kampus, “Niko, aku ingin
mendapatkan skripsi kamu, tetapi di perpustakaan kampus sudah tidak ada. Apakah
kamu punya file-nya? Bisa nggak dikirimin ke aku?”
Pertanyaan
demi pertanyaan yang bertubi-tubi itu membuat saya lemah. Kenapa bisa hilang
ya, apa jangan-jangan sudah tidak berguna lagi sehingga harus di susun di
gudang, atau ini dan itu. Sangat banyak hal yang kemudian timbul di kepala
saya. Sebegitu cepatnya informasi itu hilang ditelan waktu, saya tidak ingin
itu terjadi. Apa yang saya temukan tidak boleh hilang, apa yang saya tulis
tidak boleh saya pendam sendiri tanpa diketahui orang banyak. Karena bagi saya
informasi tentang stigma kepada ODHA ini sangat langka ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari.
kemudian timbul ide untuk
menjadikannya sebuah buku, namun penerbitnya mensyaratkan bahwa tulisannya
harus di editing habis-habisan. Saya pun menyetujui nya. Hingga terbit lah
karya sederhana yang berjudul “MENGUAK
STIGMA ODHA: Fenomena Pontianak”. Buku ini di publikasikan untuk umum,
terutama bagi yang sangat menyukai isu sosial. “Bagi saya cerita tentang mereka
tidak akan pernah habis”. Buku ini dapat
dipesan melalui email: nicoeman7@gmail.com atau melaui SMS di
089648671758. Dengan format pemesanan: Nama, Alamat lengkap, dan jumlah
pemesanan buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar