Photo: Nikodemus Niko (pribadi) |
Dari
sini aku menatapnya lekat. Tidak jauh, kira-kira sepuluh langkah jaraknya. Sejenak
aku menemukan sesuatu yang hilang yang kemudian aku temukan kembali. Kamu tahu
apa itu? Senyummu. Iya senyummu yang kulihat ada pada dirinya. Dia yang tidak
terlalu lama kukenal. Senyumnya, serupa senyummu tapi aku tahu itu berbeda. Senyummu
takkan pernah tergantikan oleh senyum mana pun juga, percayalah. Aku takut
untuk menatapnya lekat, takut jika aku kemudian terlarut dalam senyum yang
bukan milikmu itu.
Sembari
menikmati secangkir kopi hitam ini, sesekali aku menoleh ke arahnya yang sedang
menyulut sebatang rokok. Dia sambil fokus mendengarkan seorang teman
perempuannya bercerita. Entah apa yang sedang kalian bicarakan, seolah hanya
bisik-bisik yang tak dapat tertangkap oleh gendang telingaku. Kemudian sesekali
dia juga menatap ke arahku, aku menyadarinya ketika ekor matanya mengerling ke
arahku. Ah, mungkin saja ini memang suatu kebetulan, atau diriku yang sedini
ini terkesan pada senyum, yang karena miri senyummu. Senyum yang dahulu dan
akhir-akhir ini pernah membuatku menangis karena pengabaiannya. Dan kini
kutemukan kembali dalam kamu yang tidak sama.
Tidak.
Aku tidak semudah ini untuk memulai kepada hati yang baru. Biarkan saja hati
ini berkelana sesuka hatinya. Menghadapi kisahku dengan air mata, bersama kelupaan
yang masih berasa hingga detik ini. Iya, kau melupakanku secepat ini. Justru diriku
yang tak ingin secepat ini untuk menemukan penghapus linangan air mata yang
masih aku nikmati kehadirannya.
Teruntuk Cinta yang Masih Tearabaikan
Kuteteskan
lagi air mata ini, untukmu, untuk cinta yang terabaikan hingga detik ini. Kurenungi
kisah cinta yang dahulu tak tersampaikan, aku: dengan tangis yang begitu sendu.
Sudahlah cukup aku merekayasa hati ini. Cukup aku merasakan bahagia yang penuh
kebohongan, aku terluka. Iya aku benar-benar terluka saat kau mengabaikanku, mengabaikan
cintaku. Mata ini yang menjadi saksi bersama buliran air bening yang tertumpah.
Tak
cukupkah engkau tahu jika aku hanya sendiri menanti jawabmu. Berharap ku kan
temukan jawaban berbeda dari sembilan bulan yang lalu. Yah, harapku memang tak
seindah yang terjadi: kau masih menyimpan jawaban yang sama tempo hati. Hingga
waktu mampu menopangku untuk sebuah jawaban yang kuketahui adalah tidak. Percayalah,
aku tidak merasakan perih atau sakit seperti yang orang lain pikirkan. Aku bahagia
kok, setidaknya aku mengetahui bahwa sudah ada dia yang akan
men-selamatpagi-kan kamu kala matahari mulai tiba, meng-sweetdream-kan kamu ketika malam sudah larut dalam pangkuan
rembulan. Itu cukup untuk menjadi alasanku tersenyum tanpa merasakan sakit.
Sulit
pada awalnya untukku menerima ini, tapi aku bisa apa? Hanya menangisi kebodohan
yang dari awal aku ciptakan sendiri. Kini aku hanya bersama air mata, bersama cinta
yang terabaikan. Sungguh aku tidak pernah menyesal mencintaimu, aku tak akan pernah
mencoba menghapus kenangan tentangmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar