28 Oktober, setiap tahun di gaungkan sebagai hari sumpah pemuda. Saat
dimana pemuda Indonesia bersatu dalam ikatan kepemudaan untuk mempertahankan
nusa dan bangsa. Hari ini diwariskan kepada pemuda-pemudi Indonesia untuk tetap
berjuang, untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan yang
dideklarasikan, bertanah air satu, berbahasa satu, berbangsa satu yakni
INDONESIA sebagai harga mati.
Hari bersejarah ini selalu dan tetap menimbulkan sejarah-sejarah baru di
setiap tahunnya. Entah para pemuda yang haus akan sejarah cetakan baru atau
bagaimana, sehingga sejarah yang sesungguhnya sulit diketahui kebenarannya. Hari
sumpah pemuda yang seharusnya dimaknai dengan penyadaran-penyadaran kepemudaan
masa kini, malah justeru berakhir dengan ricuh. Bahkan pengrusakan-pengrusakan
dan atau baku hantam dengan aparat keamanan. Anehnya lagi kejadian seperti ini
menjadi berita terhangat atau berita terkini di media-media, yang dapat di
akses oleh siapa saja. Lalu apa makna hari ‘kepemudaan’ yang dapat dipetik dari
berita seperti itu?
Dan lagi, hari pemuda ini bahkan dijadikan momen untuk menilai
kepemerintahan Presiden Jokowi-JK. Apakah kita sudah menilai diri kita sendiri
terlebih dahulu sebagai pemuda atau generasi penerus bangsa ini? Jika ingin
mengkritik, kritik lah diri sendiri terlebih dahulu. Jika ingin mengkritik arah
kepemimpinan presiden, apakah sudah mempunyai manuver-manuver solusi? Karena
mengkritik tanpa solusi hanya akan menjadi nyanyian mati.
Saya tidak menyalahkan adanya kritik, karena itu sangat penting bagi
keterbukaan dan setiap kita bebas berpendapat. Tetapi akan lebih bijak lagi
jika arah kritik yang dimaksud memiliki solusi berarti yang dapat menjadi
sebuah terobosan. Jangan sampai kritikan yang terlontar kemudian berisi
kebencian-kebencian yang tidak tentu arah. Karena untuk mengobarkan api itu
hanya cukup curahkan bensin saja, tetapi untuk memadamkannya, air satu ember
pun belum tentu cukup. Artinya adalah mengobarkan kebencian itu sangat mudah, namun
untuk memadamkannya sungguh sulit.
Refleksi Pemuda Hari Ini: 2015
Ketika saya pergi ke kampus dengan menggunakan tas perempuan, saya
diketawain dan saya dikatain seperti ‘banci’.
Ketika saya berpose dengan mengenakan pakaian muslim dan mengenakan kopiah di
kepala, saya di katain masuk islam, yang mana saya diketahui bukan beragama
islam. Ketika saya naik sebuah kereta lokal jurusan Jogja-Solo, saya berkata
“wooww”, kepada seorang teman saya. Karena saat itu yang saya lihat adalah
anak-anak muda dengan gadget di
tangan masing-masing.
Pengalaman saya diatas sangat tidaklah sesuai standard jika menjadi suatu
refleksi untuk pemuda-pemudi masa kini, maksud saya adalah sebagian
pemuda-pemudi (baik sebagian besar ataupun sebagian kecil). Dari pengalaman
saya menggunakan tas perempuan, mengapa masih saja ada manusia yang masih saja
mencari pembenaran atas nama gender.
Persoalan saya dikatakan laki-laki atau perempuan, atau banci itu persoalan
nomor dua, yang utama adalah mengapa masih banyak diantara kita yang bersikap
‘menyalahkan’ atas nama ‘pembenaran’, maksudnya adalah saya salah dan anda lah
yang benar. Begini kah mental pemuda kita kini, dengan ego tinggi dan selalu
ingin dianggap benar.
Kedua, saya sempat kaget ketika foto saya yang berpose mengenakan pakaian
muslim dengan ucapan ‘Selamat Hari Raya Lebaran’ di bawahnya, sungguh
dikomentari negative. Saya dikatakan
masuk islam, dan sindiran-sindiran halus yang mengungkapkan bahwa seorang bukan
muslim tidak pantas mengenakan pakaian muslim. Dan mereka yang memberi komentar
adalah pemuda yang berasal dari kaum intelektual. Ah, apa jadinya Indonesia ku
kelak jika hari ini saja sudah terdapat pemecahan-pemecahan halus antar setiap
golongan-golongan tertentu.
Ketiga, saat saya di dalam kereta lokal yang mana setiap orang
(pemuda-pemudi) mempertontonkan bahwa they’re
gadget addict. Tidak ada tegur sapa, tidak ada interaksi yang berarti
selama satu jam perjalanan dari Jogja ke Solo. Ah, tidak hanya mereka bahwa
fakta nya saya adalah bagian dari mereka. Yang ada hanya lah orang-orang cuek,
berasal dari Indonesia bukan Amerika atau China. Penyakit cuek yang semakin akut
di negeri ini sangat perlu menjadi perhatian serius kita bersama.
Kemudian, banyak pemuda-pemudi menyerukan dalam demostrasi atau suatu aksi
bahwa “pemerintah Indonesia adalah antek-antek Amerika, atau mereka adalah kaum
kapitalis”. Lha, itu lihat dulu gadget yang ada di kantong anda: buatan mana?
Anda cuek saja sama diri sendiri.
Semoga Hari Sumpah Pemuda, hari yang sungguh bermakna bagi kita kaum muda
di negeri ini dapat menyadarkan diri kita semua bahwa negara ini butuh
tangan-tangan kita, bahwa negeri ini menaruh tanggung jawab masa depan ke
masing-masing pundak kita sebagai generasi penerus. Jika yang diharapkan adalah
seperti keadaan hari ini, maka seperti ini lah Indonesia di masa yang akan
datang, dengan ke-cuek-an pemuda-pemudi nya. Mari memulai dari diri kita
sendiri, untuk tidak cuek terhadap lingkungan sosial kita, tidak cuek dengan
lingkungan alam kita, serta tidak cuek dengan lingkungan psikologi kita dengan
yang Maha Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar