Asap: Musuh Siapa? Rakyat-Negara
Tiga
anak SD dari Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat turut diundang dalam acara show
Hitam Putih, di salah satu stasiun tv nasional saat darurat asap di Kalimantan,
dengan tagline acara “Melawan Asap”. Disatu
sisi saya pribadi merasa bangga dengan kehadiran tiga bocah cilik yang berasal
dari Kabupaten daerah asal saya itu. Mereka layak mendapatkan apresiasi. Namun sayang sekali
tidak menghadirkan anak-anak yang berasal dari Riau, karena asap parah juga
melanda di wilayah Sumatera sana, sangat disayangkan.
Terlepas
dari itu, masalah asap yang kian parah di Kalimantan sudah menjadi konsumsi
tahunan bagi masyarakat setiap menjelang musim kemarau. Mengapa kehebohan itu
memuncak di tahun 2015 ini? Setiap siang dan malam masyarakat menghirup udara
tidak sehat, beraktifitas bahkan saat tidur pun menghirup asap. Berbagai macam
solusi tentu sudah diluncurkan pemerintah dan presiden, namun apa nyata nya:
Menko Polhukam menyatakan bahwa “bencana asap tidak perlu dijadikan bencana
nasional”, kemudian ditambah lagi pernyataan Menteri Kesehatan yang menyatakan
bahwa “asap belum berbahaya dan maskernya cukup biasa saja, toh ini belum
bencana luar biasa”. Dimanakah mata para petinggi negeri ini? Bagaimana bisa
pernyataan sekelas menteri dapat menyakitkan hati rakyatnya yang sedang di
rundung duka. Iya, ibu pertiwi sedang menangis pilu saat ini, tetapi bisa-bisanya
lagi pernyataan sekelas menteri justru ingin merobek-robek hati rakyat kecil.
Sudah
banyak korban berjatuhan dalam bencana ini, lalu mengapa hal ini di anggap
bencana biasa saja. Data yang dihimpun Kemenkes RI mencatat sebanyak 69.000
orang penderita ISPA di Jambi, 74.589 orang penderita ISPA di Sumsel, 43.477
orang penderita ISPA di Kalbar, 29.104 orang penderita ISPA di Kalsel, 44.960
orang penderita ISPA di Riau dan 35.709 orang penderita ISPA di Kalteng, data
ini dicatat per 4 Oktober 2015 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia). Masih
kurangkah jumlah penderita sehingga bencana ini masih dianggap biasa dan tidak
perlu dijadikan bencana nasional.
Kemiskinan: Bencana Berkepanjangan
Masalah
asap menahun ini bukan sekedar lahan/hutan yang terbakar, melainkan masalah
lahan sawit yang kian meluas dan melibas petani-petani kecil. Sehingga mereka-lah
yang kemudian di kambing hitamkan—muncul berita di media bahwa petani kecil yang
membakar lahan/ladang di sanksi hukum—mereka hanya mencari penghidupan, mencari
makan, bukan kesenangan dan harta berlimpah. Mengapa hukum kemudian seolah-olah
“keceng” sebelah terhadap rakyat kecil. Jika mereka tidak miskin, mereka tidak
akan berladang, mereka tidak perlu membakar ladang nya untuk ditanami padi
kemudian menjadi sumber hidup mereka. Salahkah dimata hukum? Bahkan tiada hukum
tempat berlindung bagi rakyat kecil.
Selain
perusahaan sawit juga pembukaan lahan tambang yang kian tidak terkontrol.
Dimana peran pemerintah? Bahkan tangan-tangan mereka yang tertanda dalam ikatan
kontrak yang tidak dapat di ganggu gugat oleh rakyat kecil. Justru kemudian
muncul spekulasi bahwa Korporasi tidak dapat dipidanakan. Ya iya lah, wong korporasi terlindungi oleh Perda
yang anda-anda buat dan bubuhi tanda tangan bermaterai. Baik lah korporasi
tidak dapat dipidanakan, tapi korporasi dapat di gugat dengan hukum perdata, usut
tuntas dalang (otak) dari sumber masalah ini, beri sanksi pihak perusahaan yang
nakal. Tapi kok seolah-olah tindakan ‘salah’ itu dipayungi Perda yang kuat
sehingga pemerintah tidak berkutik, dan masyarakat pun awam tidak mengetahui.
Menghirup
udara segar adalah hak asasi bagi setiap warga masyarakat. Hal ini berarti
udara segar juga hak bagi rakyat di Sumatera dan Kalimantan yang kini sulit
memandang matahari, karena tebalnya asap. Dengan adanya masalah asap ini, secara
sadar bahwa sebagian Hak Asasi rakyat di-cut
oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Mengapa aparat pemerintah terlihat
tidak berdaya dalam menangani masalah ini? Malah terlihat berpidato manis di
depan media televisi. Pidato tidak akan menyelesaikan persoalan, jangan
menunggu rakyat semakin banyak menjadi korban.
Isu
kemiskinan sudah sejak lama seolah tidak ada jalan keluarnya. Di Indonesia
masalah akut ini mengancam masyarakat kecil di pedesaan dan di perkotaan,
beberapa bulan lalu BPS (Badan Pusat Statistik) mengumumkan bahwa terjadi
kenaikan penduduk miskin per Maret 2015 yaitu sebanyak 17,94 juta orang
penduduk miskin di pedesaan dan 10,67 juta orang penduduk miskin di perkotaan. Dengan
demikian penduduk miskin berjumlah 28,59 juta orang. Pertambahan jumlah
penduduk miskin paling banyak terjadi di wilayah pedesaan. Jumlah penduduk
miskin bertambah 86.000 orang dalam kurun waktu enam bulan sejak september 2014
yang berjumlah sebanyak 27,73 juta orang penduduk miskin. Isu kemiskinan ini
tenggelam dan luput dari perhatian publik, karena fokus pada isu bencana asap
yang melanda hingga ke Negara Singapuran dan Malaysia.
Hal
ini luput dari pemberitaan media, karena yang paling ke-kini-an lah yang akan
ditampilkan untuk mengejar rating. Bencana
asap yang juga melanda daerah pedesaan—dimana banyak penduduk miskin—di Sumatera
dan Kalimantan adalah bentuk penindasan yang terjadi pada rakyat kecil dan
miskin. Sudah selayaknya negara membantu penderitaan rakyat kecil, justru
berhembus kabar bahwa masyarakat Kalimantan Tengah meminta bantuan masker N95
agar tidak terpapar penyakit ISPA. Lalu dimana negara? Tidak adakah anggaran
negara untuk korban bencana ini, sehingga negara tetangga yang menjadi ‘pengulur
tangan’. Jika masyarakat tidak miskin, mereka akan bisa membeli ‘MASKER’ untuk
melindungi diri dan keluarga mereka. Akar utamanya adalah kemiskinan. Yang
bertanggung jawab atas kemiskinan mereka adalah seluruh penyelenggara Negara
(DPR/MPR, Presiden, Pemerintah, Lembaga Penegak Hukum). Adakah pidato para penyelenggara
negara untuk ‘MEMINTA MAAF’ kepada rakyat atas bencana di Kalimantan dan Riau? Karena
mereka lah yang mebiarkan perusahaan dan korporasi asing menjamur di Sulawesi
dan Kalimantan.
Tragedi Berdarah “Singkil”
Baru-baru
ini berhembus kabar di media tanah air tentang tragedi “Singkil”, yaitu tragedi
pembakaran Gereja di salah satu kota kecil di Aceh. Mengapa isu ini memuncak,
karena meng-atasnama-kan agama. Isu SARA di Indonesia sangat alot untuk
diperbincangkan pun diperdebatkan. Tidak lama isu Tolikara, Papua yang mulai
meredam kembali muncul di permukaan (lagi). Sehingga menuntut banyak pihak
untuk angkat bicara, termasuk presiden dan jajaran pemerintah. Dan melupakan
sejenak akan isu kemiskinan, melupakan sejenak akan isu asap.
Isu
konflik ini akan terus berkembang dan melebar jika tidak segera di redam. Isu SARA
di Indonesia ibarat sepercik bensin yang akan selalu di kejar oleh api. Jika semakin
banyak bensin yang ditebar, maka api akan semakin menjalar. Karena itu lah seluruh
mata media kemudian beralih pada isu hangat ini, yang kemudian isu bencana asap
mulai redup dan semakin dingin dan basi untuk diperbincangkan, yang menjadi
kompornya adalah media. Semakin bertumbuh media di jejaring media sosial,
sehingga masyarakat pun dengan mudah menerima tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam
tragedi “Singkil” semua lapisan mengecam para pelaku yang mengatasnamakan
agama. Ajaran agama mana pun, bentuk kekerasan dan pendindasan tidak dibenarkan
meski dengan alasan apa pun. Dimana negara saat hal ini terjadi? Bukan kah
tragedi ini melukai falsafah pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa,
serta Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Jangan malah membawa isu “Bela Negara”,
saat rakyat minoritas butuh perlindungan dimanakah negara? Adakah jaminan
keamanan bagi mereka!
Lenyap
sudah perhatian sebagian masyarakat Indonesia terhadap bencana asap. Terfokus pada
isu SARA yang ada, menghujat, menghakimi seolah-olah mereka berada di tempat
kejadian perkara. Musim hujan pun telah tiba, asap sudah mulai mereda. Kemungkinan
sebagian besar masyarakat di Kalimantan sudah beraktivitas seperti biasa (tanpa
asap lagi). Mereka juga ikut menyaksikan huru hara dalam tragedi “Singkil”, dan
melupakan tragedi yang sesungguhnya ada di Bumi Kalimantan—Bencana Asap. Betapa
peran media sangat besar dalam hal ini, bencana besar begitu cepat terlupakan—tentu
menimbulkan luka yang teramat dalam bagi Kalimantan dan Sulawesi—karena jika
tidak ada penanggulangan lebih lanjut, hal serupa akan terjadi lagi di tahun
2016 mendatang, bahkan bisa lebih parah. Saya yakin pasti sangat banyak LSM
atau organisasi yang terus berupaya dan peduli mencari solusi terhadap masalah
isu yang ada di negeri ini.
Oleh: Nikodemus Niko
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas
Padjajaran Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar