Tiada yang bisa kau lakukan saat sedang merindukan
seorang ibu, selain mendoakannya, kemudian kau menangis dalam kesunyian.
Perlahan kau pejamkan mata, scene
kenangan bersama ibu akan semakin terlihat jelas dan membuatmu semakin
menangis. Ketika merindukannya, kau tak akan mungkin langsung menelponnya.
Entah mengapa menangis adalah pilihan pertama untuk kau mengungkapkan sebuah
rindu: ini semacam hipnotis diri yang tak dapat kita ketahui alasannya.
Ibu. Entahlah, dengan aksara apa aku harus mendeskripsikan makhluk jenis
ini. Ia seperti tak berharga, tidak akan ada nilai yang pantas baginya selain
sebuah Cinta. Seperti apa pun
rupanya, ia tetap terlihat cantik. Serenta apa pun umurnya, ia tetap terlihat
anggun. Sepahit apa pun hidupnya, ia tetap terlihat manis dalam sunggingan
senyum di raut wajahnya. Apa kau rela untuk tidak merindukannya?
Adalah egois, jika kau tak ingin hinggap dalam
dekapan hangatnya. Adalah naif, jika kau tak ingin lelap dalam pundaknya yang
penuh kedamaian. Kau pasti ingin kembali. Sejauh apa pun kota bahkan negeri kau
merantau, alasan pasti kau ingin kembali adalah ibu. Bukan kerinduanmu akan
tanah kelahiranmu, bukan pula kerinduanmu pada warisanmu, tetapi harta itu
adalah ibu. Jagalah ia selagi tanganmu mampu menggapai. Rawatlah ia selagi
fisikmu masih mampu berdaya. Dan selalu jaga komunikasi selagi ia masih dapat
berbicara. Karena akan lebih sakit jika kau terlambat menyadari itu semua, akan
lebih sesak jika kau mengabaikan ke-masih-an
ibu.
Teruntuk
Rindu: Aku Masih Belum Bisa Berdamai, Maaf!
Kali ini kuingin bercerita tentang rindu untuk ibu
ku. Tidak ada cerita paling indah selain menceritakan kerinduan ini, tetapi
jujur, aku mungkin tak sanggup menggoreskannya menjadi untaian aksara indah. Aku
bahkan pukan seorang penyair, pun pelantun puisi merdu.
Ah, begini saja, I want to be the only hand you ever need to hold, mom. I miss you.
Aku merindukannya, sejenak aku pandangi wajah sayunya dalam sebuah album foto.
Tetapi apa? Itu tak sama sekali mengobati rasa ini, aku justru semakin terisak
dalam larut tangis. Aku mulai mencari nomornya kemudian menelepon. Dan di ujung
sana terdengar suara girang menyambut telponku. Gila! Tidakkan ia juga merindukanku, mengapa ia tidak menangis
seperti aku disini.
Aku bernada sedikit parau. Kemudian, ia bertanya
kenapa dengan suaraku? Sedetail itukah, sampai-sampai suaraku parau saja ia
masih sempat menyadari. Lalu aku mencoba untuk berbohong, bahwa aku baru bangun
tidur. Entah mengapa dengan ke-berbohongan itu, aku justru semakin ingin terisak nangis.
Hingga aku tak mampu lagi untuk membendung maksud hati—bahwa aku sangat
merindukannya. Apakah kemudian ia ingin menangis bersama? Tidak. Malah dia
menyuruhku, “cuci muka dulu, sana!”
kemudian ia mematikan teleponnya.
Aku tahu, bahwa ia ingin selalu terlihat tegar
akan rindunya padaku. Bahkan ia tak berminat sama sekali untuk menangis
bersamaku karena ia tak menginginkan aku cengeng, ia tak ingin aku manja. Dia
hanya ingin aku jadi anak yang kuat dan mandiri hidup di perantauan, bukan
malah menangis mengatasnamakan: rindu. Aku paham. Bahkan aku tahu bahwa setelah
mematikan telepon, ia justru lebih
terisak, terluka karena merasa bersalah membohongi perasaannya sendiri. Aku
juga tahu bahwa dia sangat-sangat merindukanku, dan segera menginginkan aku
pulang ke rumah.
Dia pernah berpesan: “jika rindu, lantunkan
rindumu pada sebait doa. Jika ingin nangis,
menangislah bersama doa”. Sesingkat itulah pesannya, tapi aku belum mampu
melakukannya dalam nama rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar