*Nikodemus Niko
Jeramun Ampa’k adalah nama sebuah kampung di pedalaman Kabupaten Sanggau,
Kalimantan Barat. Terisolir, adalah kesan pertama ketika siapa saja yang
memasuki wilayah perkampungan tersebut. Terletak di Desa Pakeng, Kecamatan
Balai. Namun lokasinya sangat jauh dari pusat pedesaan, lebih tepatnya kampung
ini terletak diantara hutan belantara. Belum ada jalan raya, hanya terdapat
jalan setapak yang penuh lumpur tanah dan lubang. Jangankan dilewati mobil,
jika ada sepeda motor yang lewat saja bisa-bisa di dorong di tengah jalan.
Kampung Jeramun Ampa’k terletak tidak jauh dari kampungku, Kampung Pejalu.
Hanya sekitar 45 menit saja jika berjalan kaki melewati hutan. Sehingga
kehidupan masyarakat disana pun tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat
di kampungku, tidak ada akses listrik, tidak ada jaringan handphone dan tidak ada akses pendidikan. Berdasarkan informasi
yang saya dapatkan, bahwa belum ada satu pun yang dapat menamatkan sekolah di
bangku SMA dari kampung itu. Hal ini berarti sekolah paling tinggi hingga
jenjang SMP, itu pun orangnya dapat dihitung dengan jari.
Anak-anak tumbuh di daerah perkampungan yang jauh dari interaksi dengan
orang-orang di luar mereka, perempuan-perempuan paruh baya menghabiskan waktu
mereka di sawah dan ladang yang terletah di pinggir-pinggir belantara hutan.
Para laki-laki paruh baya pun sama, hanya saja sesekali mereka dapat
berinteraksi dengan kampung luar mereka kala mereka hendak berbelanja kebutuhan
rumah tangga, itu pun dalam intensitas yang kecil hanya mungkin dua kali dalam
sebulan.
Dimana mereka mendapatkan akses pendidikan? Ada Sekolah Dasar (SD) di dusun
manang, sekitar 20 menit mereka berjalan kaki dari kampung. Ada sekitar lebih
dari 20 anak yang bersekolah disana (dulunya), anak-anak itu sangat bersemangat
untuk datang ke sekolah meski tanpa menggunakan sepatu, dan bahkan ada yang
tidak mengenakan seragam sekolah. Tetapi guru nya sangat sering tidak masuk,
biasanya hanya dua kali dalam seminggu itu pun paling hanya memberikan tiga jam
pelajaran. Guru yang mengajar di sekolah itu hanya dua orang saja, itu pun
mereka berasal dari kota kecamatan sehingga untuk menuju sekolah memakan waktu
di jalan sekitar satu jam lebih, sehingga kegiatan belajar mengajar di sekolah
ini sangat tidak efektif.
Uniknya lagi di sekolah ini tidak ada murid kelas 4, 5, dan 6, karena
setiap mereka akan naik ke kelas 4, mereka akan di pindahkan ke SD lain karena
tidak ada guru yang mengajar. Kemudian banyak anak yang pindah ke sekolah lain
meski mereka harus menempuh jarak yang sangat jauh, seperti di SDN mungguk
tawak yang jarak tempuhnya hampir 45 menit. Itu karena semangat mereka yang
sangat patut di apresiasi.
Tetapi pendidikan mereka terputus sampai disana, iya mereka hanya sekolah
hingga SD saja bahkan banyak yang tidak sekolah karena keterbatasan. Satu dari
sepuluh anak saja yang dapat melanjutkan hingga ke bangku SMP, itu pun mereka
yang benar-benar berjuang karena sekolah SMP jaraknya sekitar dua jam dengan
mengayuh sepeda, setiap hari tanpa mengenal lelah. Sehingga pada saat aku SMA
adik kelasku ada dua orang yang berasal dari Jeramun Ampa’k dan mereka adalah
yang pertama kali nya mengenyam pendidikan di bangku SMA. Mereka berdua
laki-laki. Namun sungguh disayangkan, saat akan duduk di kelas dua mereka
memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih bekerja, karena sudah tidak mampu
lagi membayar uang sekolah. Mungkin alasan mereka logis, karena aku pun tahu
bahwa mereka sama sepertiku, bukan berasal dari keluarga kaya.
Sehingga mata rantai itu akan tetap berlanjut. Bahwasannya pendidikan mereka
terputus di tengah jalan karena keterbatasan ekonomi, karena kondisi miskin
yang kemudian menjadi alasan bagi mereka untuk tidak dapat bersekolah. Dunia
pendidikan masih sangat mahal bagi mereka, jangankan untuk sekolah
anak-anaknya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja harus berpeluh asa.
Hingga pada akhirnya banyak anak-anak perempuan mereka yang kemudian menjadi
TKI di Malaysia, menjadi wanita penghibur di tempat hiburan malam. Parahnya
lagi orang tua mereka tidak mengetahui hal itu, orang tua mereka hanya senang
bila anak mereka pulang dari Malaysia membawa uang banyak, dan bisa digunakan
untuk memperbaiki rumah atau tempat tinggal mereka.
Siklus itu juga terjadi, yang membuat banyak orang tua yang ingin anaknya
bekerja di Malaysia mengikuti jejak temannya yang sudah berhasil bekerja di
Malaysia. Ketidakpahaman mereka inilah yang kemudian menjadi masalah yang
signifikan, anak-anak yang usia seharusnya masih duduk di bangku sekolah
kemudian memilih bekerja saja membantu perekonomian orang tua mereka. Tak jarang
mereke yang masih berumur belasan tahun sudah bekerja jadi kuli di kapal, atau buruh di toko, bahkan ada yang memilih
menjadi pembantu rumah tangga (bagi anak perempuan)
Salah siapa? Entah siapa yang harus dipersalahkan dalam situasi seperti
ini. Orang tua mereka kah? Toh, orang tua mereka juga seolah ‘tidak peduli’
anaknya sekolah atau tidak, karena ketidakpahaman akan penting dan berharganya
pendidikan dimasa depan. Namun, bukankah hal ini juga seharusnya menjadi
perhatian pemerintah? Negara memiliki peran penting untuk ikut andil dalam
menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan. Bagi mereka yang hidup di
pedalaman, bukan mereka yang tidak mau bersekolah, namun lebih kepada kurangnya
fasilitas (bangunan sekolah atau guru yang mengajar), serta pola pikir yang “Toh
abis sekolah akan bekerja juga”, oleh karena itu mereka berpikir kemudian lebih
baik bekerja di masa muda sehingga bisa meringankan beban orang tua mereka.
Atau salah penyelenggara pendidikan? Ah, rasanya sudah cukup bagus
penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Tapi, tunggu dulu, apakah sudah
merata pendidikan ini hingga ke daerah-daerah pelosok? Hal ini perlu menjadi
pertanyaan. Iya, penyelenggeraan pendidikan terlihat masih tersentral di daerah
perkotaan saja, paling tidak di daerah ibukota kecamatan. Sedangkan di daerah
pedesaan atau daerah terpencil di pelosok, masih sedikit yang tersentuh. Meskipun
sudah banyak beragam program pemerintah untuk menjangkau daerah-daerah
pedalaman, namun belum di Jeramun Ampa’k.
Jika ada program pengabdian untuk guru-guru di daerah terpencil, namun
sekolah nya tidak ada, bagaimana mereka bisa menjadi sasaran program. Di Jeramun
Ampa’k tidak memiliki sekolah, mereka harus bersekolah di dusun Manang,
sementara guru-guru di dusun Manang berasal dari kecamatan sehingga tak jarang
mereka tidak masuk karena berbagai alasan dan kendala, kemudian kemanakah
mereka mengadu dan berteriak bahwa mereka juga ingin cerdas, pintar, dan
setidaknya bisa mengecap bangku sekolah.
Belum lagi rencana akan beroperasi area tambang Bauksit di daerah Jeramun
Ampa’k, dan mereka akan menjadi penonton dan gigit jari melihat kekayaan alam
mereka yang dikeruk untuk memperkaya segelintir pihak. Tanah mereka diserahkan
dengan harga murah, dan gunung bahan baku pesawat itu sudah dirintis untuk
secepatnya beroperasi. Sementara mereka? Untuk menjadi buruh saja harus
mengantongi ijazah setidaknya ijazah SD. Apalagi jika ingin menjadi mandor atau
pengawas, mimpi. Oh, ibu pertiwi. Lihatlah anak kandungmu yang tak ubahnya
seperti anak tiri di negeri sendiri.
"it is not enough for the world to be
shocked by these images. Shock must be matched by action. The plight of these
children is neither by their choice nor within their control. They have a right
to pretection"—UNICEF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar