Nico Ajah
#Playlist: Hujan
Kemarin
¶¶ Kemarin.....
Kudengar... Kau ucap kata cinta
Seolah
dunia bagai dimusim semi...
Kau
datang padaku.... Membawa luka lama...
Ku
tak ingin salah, semua seperti dulu... ¶¶
“Hujan Kemarin”—Taxi
Band
China Town
Singapore, Desember 2015
Aku masih tertegun disini, di kerumunan
lalu lalang ribuan manusia—termenung menatap pada rintik-rintik hujan yang
menyerupai kenangan—di China Town, Singapore sore ini. Masih berdiri diam
menikmati bau hujan yang menyapu habis isi langit. Aku tak ingin beranjak, sekedar
menggelar payung ungu kesayanganku. Ah,
rindu tak dapatkah kau berdamai pada hujan untuk kali ini saja! Aku hanya
bisa melirih dalam hati, sambil meratap.
Aku mencoba untuk melangkahkan kaki,
berusaha untuk menembus hujan, tentunya akan basah. Tapi aku tak punya nyali
untuk bergelut bersama sisa kenangan itu lagi. Sehingga ku harus membuka payung
ungu ini untuk menahan tumpahan rindu itu agar tak menghujam langsung tubuhku. Aku
tak ingin lagi meriang karena rindu, bahkan aku sedang tidak berminat untuk
menyapa kenangan itu kembali. Tapi apa daya, hujan memiliki porsi lebih atas
peran ini—rindu.
Tumpahan air yang berserakan itu
mengalir menuju selokan pinggiran jalan, untuk berkumpul pada titik yang sama. Tapi
rindu, masih disana bersama sisa-sisa rintik yang tak ingin berlalu. Aku bisa
apa? Hanya bisa menatap dari bawah payung ungu ini. Dan lagi kilat menyambar
seolah tak ingin semua berlalu bersama sepi. Yah, aku hanya menatap kilas-kilas
kenangan yang terlukis disana. Perih. Sakit. Hingga tak lagi dapat kutahan
lelehan bening yang sedari tadi membendung di pelupuk mata. Tumpah, bersama
hujan.
¶¶ Tak ingin lagi rasanya, ku bercinta
Setelah
kurasa perih
Kegagalan
ini membuatku tak berdaya ¶¶
Aku tak ingin lagi menoleh ke belakang,
berjalan menelusuri trotoar yang sesekali basah terkena percikan hujan. Terus melangkah
hingga tak lagi kutemukan jalan kemana pun, kemudian singgah sekedar melepas
penat. Aku masih belum berminat untuk basah bersama rindu itu lagi,
Hujan mulai sedikit reda, tidak seperti
deras ketika aku baru tiba tadi. Sisa-sisa basah masih terlihat karena gerimis
tetap menyapa dengan hangatnya. Tiada lagi senyum mentari, langit gelap, semua
lorong di kawasan Temple Street seperti tanpa cahaya lampu yang menerangi,
bagai di dalam sebuah goa. Dan lagi aku terjebak dalam sebuah ruang nostalgia
yang sama sekali tak ingin ku ungkit. Ini seperti luka lama yang kembali
menyeruak, bersimbah darah.
Aku ingin pulang, ingin tertidur lelap
melupakan semua kejadian hari ini. Aku ingin tinggalkan tempat ini segera, tapi
apa? Daya ini tiada lagi untuk beranjak pergi. Bolehkah aku memohon, ijinkan
aku sendiri, tanpamu, kenangan. Tapi kenapa? Diam-diam kau menyelinap hadir,
kembali. Aku lelah, pergilah menghampiri dia yang menciptakan kenangan itu. Aku
tak yakin jika kau juga menggantui dirinya.
¶¶ Tak dapat lagi rasanya, ku tersenyum
Setelah...
Kau tinggal pergi
Biar
ku sendiri
Tanpa
hadirmu kini
Lagi.....¶¶
Semakin aku ingin berlari, semakin rinai
hujan itu deras menetes, semakin pula kenangan itu membayangi rasa ini (lagi). Dan
seketika rindu ikut mampir ke taman rasa ini, sehingga aku tidak dapat berkutik
oleh kehadiran mereka-mereka itu. Hingga akhirnya aku memilih diam dan beranjak
pergi dengan segala penat hati.
Tanpa payung ungu lagi. Kusengaja menghujani
tubuh ini agar kenangan itu melumat semua rasa yang masih tertinggal di hati
ini, masih tentang kamu, seseorang yang tempo hari berbaju ungu; yang akhirnya
kunobatkan payung ungu itu sebagai payung kesayanganku. Aku masih mengingat
sosokmu yang bercelana jeans dan kalau tidak salah mengenakan jam tangan
coklat, serta berkacamata hitam. Ketika itu aku tidak sedang memelukmu. Namun,
diam-diam aku mencuri pandang ke arahmu. Ah, ini kenangan membasahiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar