*Nico Ajah
Pengantar
Singapura
merupakan negara maju yang letak geografisnya sangat berdekatan dengan
Indonesia. Secara tidak langsung maupun langsung beberapa negera berkembang
seperti Indonesia mencontoh Negara kecil namun sangat maju dengan pesat ini.
Lebih pantasnya disebut negara bisnis, karena lebih dari setengah penduduknya
merupakan pekerja kerah putih atau pekerja kantoran. Namun tak dapat disangkal
bahwa kemiskinan di Singapura tetap masih ada hingga hari ini, hanya saja tidak
terekspose dan selalu disangkal oleh para penguasanya. Sehingga kemiskinan
tidak begitu tampak di permukaan, dalam artian tersembunyi diantara kesibukan
(secret poverty). Selain kemiskinan terdapat pula area prostitusi yang
menyediakan pelayanan seksual bagi siapa saja di negara itu, yaitu kawasan
Geylang.
Kemiskinan di Singapura: Bagai Mencari Jarum ditengah
Tumpukan Jerami
Mega-mega
memerah diantara gedung-gedung pencakar langit serta lalu lalang ribuan manusia
dan gemerlapnya negara maju itu tentu menyimpan cerita dibaliknya. Masalah
sosial; hal ini bukan pusat perhatian kita ketika berkunjung ke negara sibuk
tersebut, namun hal inilah yang sangat penting diketahui dari setiap negara. Masalah
sosial adalah sebuah gejala atau fenomena yang muncul dalam realitas kehidupan
bermasyarakat (Soetomo, 2010:28). Gejala sosial ini terjadi pada masyarakat
dari kalangan manapun, tidak terkecuali pada masyarakat Singapura yang notabene
kehidupannya sudah terlihat makmur dan sejahtera. Tetapi dibalik itu masih
terdapat masyarakat yang hidup dalam belenggu kemiskinan, meski jumlahnya
sangat kecil. Pun tidak terekspose oleh media yang ada.
Berdasarkan
data yang dilangsir oleh http://www-wds.worldbank.org Singapura
adalah salah satu dari pusat perekonomian besar di Asia Tenggara. Produk
domestik bruto (PDB) Singapura adalah S$243 miliar (2007) dan pendapatan per
kapita tahunannya hampir S$53.000.1 Sebagai negara Singapura adalah salah satu
industri yang baru, angka pengangguran di Singapura termasuk rendah(3,1 persen)
dan tingkat pertumbuhannya tinggi (7,7 persen). Hanya sekitar dari pusat
perekonomian besar di Asia Tenggara. 17 persen dari jumlah penduduk yang
bekerja di pabrik, sedangkan 12,4 persen lainnya bergerak di bisnis jasa.
Sebagian besar penduduknya adalah pekerja kerah putih, hal ini menunjukkan
kedewasaan perekonomian yang serius dalam memberikan pelayanan. Singapura telah
diakui sebagai salah satu pusat keuangan internasional dan mempekerjakan
sekitar 6,1 persen penduduknya di sektor keuangan.
Namun disisi lain negeri singa itu ternyata masih memiliki warga yang hidup
miskin dan tuna wisma atau homeless. Namun awareness antara warga terhadap
warga lainnya sangat rendah sekali, karena kehidupan modern generasi internet
itu lebih individualisme. Jarang sekali ada interaksi atau komunikasi intens di
tempat umum antar sesama warganya. Sebagai contoh ketika sedang berada di MRT,
rata-rata manusia yang ada sibuk dengan gadget-nya masing-masing, tanpa mereka
mau tahu bahwa ada diantara saudara sebangsa mereka yang hidup dalam belenggu
kemiskinan.
Potret Kemiskinan di Singapura (Koleksi Penulis) |
Kemiskinan
acapkali didefinisikan semata hanya sebagai fenomena ekonomi, seperti Levitan
(1980) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan
pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang
layak (Suyanto, 2013:1). Para ahli barat memang merujuk pada fenomena ekonomi
yang terjadi pada suatu negara dalam mendefinisikan kemiskinan, sangat akan
berbeda jauh apabila kita bandingkan dengan kondisi riil yang dihadapi keluarga
miskin di Indonesia. Namun pendekatan barat ini akan lebih cocok untuk melihat
fenomena kemiskinan yang terdapat di negara Singapura, dimana kemiskinan yang
terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk mencapai standar hidup layak.
Data tahun 2011 disebutkan bahwa Singapura memiliki penduduk berjumlah 4,8 juta
jiwa, dan 26% dari jumlah penduduk atau 458.257 orang yang hidup dibawah garis
kemiskinan (sesuai standar kemiskinan di Singapura yaitu penduduk yang
berpenghasilan dibawah S$1.500 per bulan).
Singapura
terkenal dengan kehidupan glamour yang ditandai dengan kemewahan-kemewahan.
Namun tidak cukup sulit untuk menemukan mereka yang hidup masih meniti bawah
garis kemiskinan di negeri itu. Yang saya jumpai pertama kali yaitu di kawasan
Merlion Park, tak kurang dari lima orang yang saya perhatikan berjualan disana.
Mereka adalah bapak-bapak tua sekitar umur 50 ke atas bermata sipit, berpakaian
sederhana (pakai baju kaos dan celana kain yang sudah agak lusuh, dengan handuk
kecil di lehernya) dan mereka ada yang berjualan ice cream seharga 1 dollar
Singapura (SgD), ada pula yang berjualan makanan ringan dan minuman mineral dan
beragam jenis minuman lainnya seperti green tea, yang kisaran harganya 3-5
dollar Singapura (SgD).
Mereka
berjualan di bawah teriknya sinar matahari, ketika itu saya membeli sepotong
ice cream yang seharga 1 dollar itu. Tidak banyak dagangannya yang laku sepagi itu, mungkin sekitar delapan
potong ice cream, karena masih terlihat banyak yang terdapat di dalam kotak
pendingin. Perkiraan saya pendapatan bapak itu seharian full sekitar 20-30
dollar Singapura (SgD), dan itu merupakan nominal yang sangat rendah, dimana seorang
pekerja kantoran penghasilannya bisa lebih dari 80 bahkan 100 dollar per hari.
Namun apa daya, mereka adalah sekumpulan orang ‘miskin’ yang harus bertahan
hidup.
Potret Kemiskinan di Singapura (Koleksi Penulis) |
Berpindah
ke area Bugis, banyak saya temukan ojek sepeda ‘Uncle’ dimana para pengayuh
sepeda itu adalah laki-laki cukup tua (semacam paman-paman disana) yang
berpakaian sederhana, lagi-lagi mereka bermata sipit atau keturunan tionghoa.
Bahkan aku menjumpai seorang ibu-ibu yang bersama anaknya yang lumpuh sedang
berjualan. Ya, dari situ saya tahu bahwa hidup di Singapura tidak seperti yang
terbayangkan—enak, senang, dan mewah. Siapa bilang? Tidak sedikit diantara
mereka (penduduk asli) yang tidak punya rumah alias homeless.
Kemudian
di area Sentosa Island saya menemukan beberapa tukang kebun membersihkan area
taman dan mereka berkulit hitam, dan perawakannya seperti orang hindi (India),
saya tidak tahu apakah dia asli warga Singapura atau pendatang yang bekerja di
Singapura, ketika itu saya meminta air minum di kran yang ada dekat mereka bekerja,
anehnya mereka tidak bisa berbahasa inggris. Sehingga saya sendiri tidak
mengerti bahasa yang mereka gunakan, dan saya pakai bahasa isyarat untuk
meminta air minum dari kran. Mereka berpakaian pekerja seperti di pabrik dan
bertopi, ditangannya terdapat sapu dan sekop pengangkut sampah.
Berjalan
kaki di semua tempat di Sentosa Island memang asyik disaat panas tidak terlalu
terik, dalam arti hari yang sedikit mendung ditemani awan hitam tentunya. Tidak
jauh berjalan di Boardwalk khusus pejalan kaki, saya menemukan seorang Ama
(nenek) yang bekerja sebagai tukang pembersih sampah. Dia berbaju seragam
putih, bertopi (seperti jenis caping), dan mendorong gerobak sampah yang berisi
sapu dan sampah-sampah. Saya sengaja selfie di dekat-dekat Ama, agar saya bisa dapat
gambarnya. Mungkin saja Ama ini berpenghasilan 10-20 dollar per hari, belum
untuk makan, untuk minum, untuk sewa rumah (jika ia menyewa rumah) dan
kebutuhan hidup yang serba mahal di Singapura, cukupkah? Tidak. Jika ia
berkecukupan, ia hanya duduk manis di rumah dan membiarkan anak dan cucunya
yang bekerja menafkahi dia. Namun kenyataannya? Ama itu masih tetap bekerja
meski sudah Manula. Mungkin, hukum di Singapura tidak mengatur tentang usia
pekerja, saya tidak mengerti sistem hukum yang ada disana.
Sungguh
berbeda jika kita menafsir persoalan kemiskinan yang terjadi di Indonesia
dengan yang terjadi di Singapura. Di
Indonesia orang miskin masih ditandai dengan kurangnya fasilitas ini dan itu,
wilayah terpencil, terisolir, kemudian yang di perkotaan sulit mendapatkan
pekerjaan, mengemis, ngamen, nyopet, dan banyak lagi fenomena yang terjadi
akibat kemiskinan. Namun berbeda dengan di Singapura, orang miskin saja
‘terlihat’ seperti sejahtera. Yang menjadi persoalan utama orang miskin di
Singapura adalah perekonomian, hanya itu. Kebutuhan hidup yang tinggi, sehingga
mereka harus bekerja keras. Walau seorang itu miskin, pemerintah tetap diberi
pekerjaan yang layak bagi warga Singapura agar mereka dapat bertahan hidup.
Mereka
adalah sepotong dari potret kemiskinan yang ada di Singapura, saya yakin masih
sangat banyak di daerah lain yang merupakan komunitas warga miskin di negeri
Singa itu. Di negara teknologi itu, kemiskinan seringkali ditandai dengan jenis
pekerjaan, rentang usia dan mungkin masih banyak lagi indikator yang mendukung.
Jika seorang Manula bekerja di sektor berat, siapa yang akan meng-judge bahwa
ia hidup sudah berkecukupan. Atau seorang Ama bekerja sebagai petugas
kebersihan, tentu tidak akan terpikir oleh kita bahwa ia adalah seorang yang hidup
kaya. Singapura memang negeri modern nomor satu di Asia Tenggara ini, namun
tidak dapat disangkal bahwa di negeri yang mayoritas berpenduduk kaya itu
memiliki seribu kisah bagi orang-orang miskin dan termarginal.
Negara Penyedia Prostitusi Ter-Rapi
Menurut
beberapa referensi yang saya baca, terdapat beberapa tempat prostitusi di
Singapura. Salah satunya adalah kawasan Geylang Road. Wilayah ini terdiri dari
bangunan-bangunan yang menyediakan penginapan murah dan juga beberapa tempat
hiburan seperti bar. Ketika saya lenggang kangkung melewati kawasan tersebut,
banyak sekali saya menjumpai tempat yang berkedok jasa pijat, padahal merupakan
jasa pelayanan prostitusi, mengapa saya meyakininya, karena tempatnya di sebuah
rumah yang dapat dibilang gelap, dan hanya diterangi lilin-lilin redup.
Berjalan
dan cukup lama saya berjalan menelusuri jalan itu, setelah melewati gang sepi,
hingga ketemu tempat malamnya Geylang Road. Ramai, sangat ramai pengunjung, aku
yakin mereka berasal dari berbagai negara di belahan bumi ini, termasuk negara
Indonesia, entah mereka yang hendak makan di beberapa restoran chinese, atau
sekedar menikmati secangkir kopi di bawah langit Singapura.
Geylang Road Singapura (Koleksi Penulis) |
Selama
ini Singapura di ‘anggap’ negara paling menjunjung tinggi moral, karena sangat
jarang terekspose berita pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur, atau
sejenisnya. Tidak seperti Indonesia yang tersebar luas di dunia Internasional.
Namun, jangan salah, Singapura memiliki Geylang yang merupakan tempat
prostitusi terbesar di negara singa tersebut. Padahal jelas-jelas negara
tersebut sangat menentang keras pornografi dan pornoaksi, mengapa kawasan
Geylang masih beroperasi menjadi kawasan prostitusi nomor satu, mulai dari yang
kelas teri hingga kelas kakap, atau dalam artian dari kelas kuli hingga yang
berdasi dapat main bebas di kawasan Geylang. Hanya tinggal memilih saja mau
yang mana, perempuan atau laki-laki.
Tidak
hanya perempuan saja yang menyediakan jasa seks, tetapi juga laki-laki bahkan
hingga kaum Gay atau LSL. Tak heran jika mereka sengaja nongkrong di
pinggir-pinggir jalan untuk mencari mangsa. Hal itu saya jumpai di Lorong 12
sampai 13, yang saya sendiri sebenarnya canggung dan takut karena sendirian
menelusuri kawasan itu. Tetapi saya berlagak seperti warga lokal yang
seolah-olah mengetahui tempat itu secara khusus.
Amoy-amoy
(sebutan gadis chinese) cantik berpakaian seksi tersandar di dinding-dinding
lorong menanti para pelanggan menggunakan jasa mereka. Ada yang sambil menyulut
sebatang rokok, ada yang hanya memegang tas jinjing. Dan saya tidak mau lewat
ke sana. Saya mencari jalan, kemudian memutar arah karena sudah jauh saya
melangkah dan saya takut lupa jalan pulang. Akhirnya saya nongkrong di sebuah
cafe (semacam angkringan kalau di Indonesia), kemudian memesan minuman. Ah,
banyak sekali para perempuan sosialita nan glamour ada disini, dan para lelaki
mulai dari yang pake kemeja sampai yang nyaris tidak pakai baju, ada.
Saya
duduk tanpa ingin mengajak siapapun berbicara selain pelayan tadi. Mataku hanya
menelisik beberapa pasang manusia yang tidak jarang ada pula laki-laki dengan
laki-laki, ah hal biasa lah itu. Jadi saya tidak terlalu menghiraukan, karena
mereka tidak merusak pandangan siapa pun. Mereka asik menikmati, ya itu urusan
mereka lah. Banyak diantara mereka yang berbahasa Indonesia fasih. Menurut
bacaan yang saya temukan di google blog, saya lupa alamat blognya, menyebutkan
bahwa ternyata banyak perempuan dari Batam yang ‘mangkal’ disana. Tak jarang
pula ada diantara mereka yang masih dibawah umur alias masih anak-anak. Shit!
Apa-apaan? Bukankah safety security di wilayah perbatasan Indonesia-Singapura
sudah sangat ketat? Mengapa masih banyak perempaun-perempaun Indonesia yang
datang hanya ‘melacur’ saja di Singapura dapat lolos dengan sangat mudah.
Mungkin wajar saja, sebab cara mereka berpakaian sudah tergolong seperti
kalangan orang berduit. Bahkan harga mereka bisa 30-40 dollar sekali pakai.
Namun, pelacur laki-laki (Gay-Straigh) lebih cenderung mahal sekitar 100-120
dollar sekali pakai.
Tidak
lama kemudian saya beranjak pergi, rencananya memang pulang ke penginapan di
kawasan Kallang. Namun, semakin malam kawasan Geylang semakin ramai dan
sepertinya semakin asyik. Kawasan penduduk yang notabenenya dijadikan penginapa
murah itu semakin ramai saja. Kawasan seperti ini juga pernah saya jumpai di
Yogyakarta, di kawasan Pasar Kembang (Sarkem) yang juga terkenal menjadi tempat
prostitusi di Jogja. Persis sekali, bedanya kawasan Geylang memanjang dan
memiliki lorong-lorong banyak. Mungkin tidak jauh berbeda dengan Dolly di
Surabaya atau Saritem di Bandung.
Ah,
tulisanku ini bukanlah hasil riset bertahun-tahun seperti yang dilakukan oleh David Brazil yang menelusuri pusat-pusat pelacuran di
Singapura seperti Geylang, Orchard Road, Orchard Towers, Desker Road, Flanders
Square, dan Keong Saik Road. Wilayah ini oleh pemerintah Singapura disebut
kawasan lampu merah. Para lonte selain mangkal di kawasan zona merah, juga
mereka dapat ditemukan di panti pijat, klab malam, lobi hotel atau escort
agencies (biro teman kencan) yang iklannya marak di buku telepon.
Pelacuran di Singapura saat ini tak ada bedanya
dengan konsep pada zaman Raffles dahulu. Dimana banyak mucikari dan calo mencari
pelanggan untuk ayam-ayam (sebutan pelacur perempuan) dan kucing-kucing
(sebutan untuk pelacur laki-laki), semuanya demi dollar, uang, dan fulus!.
Apabila dirunut dari sejarahnya, prostitusi di Singapura sudah menjadi lahan
bisnis sejak Stamford Raffles memerintah pada 1819.
Daftar Bacaan:
Soetomo.
2010. Masalah Sosial dan Upaya
Pemecahannya. Yogyakarya: Pustaka Pelajar.
Suyanto,
Bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan.
Malang: Intrans Publishing.
______, Profil Kota Singapura. http://www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2013/03/27/00035616120130327161624/Rendered/INDEX/478060BAHASA0S00Box374370B00PUBLIC0.txt di akses pada 17 Desember 2015, pukul 14.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar