Kenapa lagi ini Tuhan?
Aku hanya bisa melirih dalam hati, saat potongan-potongan kejadian tadi malam
melintas dalam pikiranku. Iya, kau telah menikah dengan perempuan pilihan
orangtuamu, didepan mataku. Kau pasangkan cincin dijari manisnya, merangkulnya
erat, mencium keningnya mesra—sama ketika pertama kali kau memintaku untuk
menjadi bagian dari hidupku. Menghujam hati ini dengan bilahan parang. Sakit. Perih.
Kembali
air mata ini membasahi bantal yang kini setia menjadi sandaranku. Ah, memang
hanya bantal ini yang menjadi saksi bisu kecewaku, perihku, terlukaku karena
kau. Bukankah bantal ini pula yang menjadi saksi cinta kita selama ini. Saksi
bisu yang sering menemani ketika kau mulai merayu, kita bercumbu. Mungkin jika
ia berperasaan, aku yakin ia pasti akan menangis, sama sepertiku.
120
Hari yang Lalu
“Selamat pagi Rizky sayang.”
“Pagi juga sayang.”
“Ini yuk, sarapan. Cuci muka dulu, gih!” aku sambil
menghidangkan empat potong roti dan dua gelas susu untuk kami sarapan pagi ini.
Dari belakang kau malah memelukku—hangat. Kau sandarkan
dagumu tepat di bahuku. Mencoba merayu: mencumbuiku di pagi buta. Kau ingin
mengajakku bercinta.
Ah.
Aku hanya bisa terdiam. Menikmati rasa. Meresapi cinta yang saat itu
benar-benar milikku, milikmu—milik kita. Tapi, aku tak ingin secepat itu
menuruti nafsu. Cinta ini adalah ketulusan, bukan nafsu birahi. Kau dan aku
bersama bukan atas dasar nafsu duniawi, melainkan cinta yang kini sama-sama
kita miliki.
“Aku
mencintaimu, Frans” Kau bisikkan kata itu tepat di telingaku. Menusuk dalam
gendang yang terasa ingin berdendang—teduh.
Aku
meraih kedua tanganmu yang sudah melingkar di pinggangku. Ingin aku melepaskan
dekapanmu. Tapi kau malah menggenggam jari jemariku dengan sangat erat. Aku tak
berdaya dengan sikap romantismu itu. Saat-saat seperti inilah yang nantinya
akan aku rindukan darimu. Iya, suatu saat.
“Aku
juga mencintaimu, Riz” suaraku memang tidak terdengar jelas. Aku grogi, nervous. Menahan napas, tidak beraturan.
“Maukah
kau berjanji untuk tidak meninggalkan aku?” kutatap sepasang bola mata bening
itu, kemudian kuselami bersama detak yang ada di dadamu.
“Iya,
aku janji. Aku tidak akan meninggalkanmu”, kau bersungguh-sungguh.
Krrrrriinnnggggg....
Jam
weker yang terletak disamping ranjang, tiba-tiba berbunyi begitu keras.
Mencairkan suasana. Hmm, hanya jam dan bantal itu yang menjadi saksi bisu cinta
kita. Sepasang kekasih yang menebarkan rona cinta disetiap sudut ruang asmara.
***
210
Hari yang Lalu
Rizki,
cowok yang aku kenal tanpa sengaja itu memiliki tubuh atletis dan tinggi, kulit
putih, berkumis tipis, serta berwajah tampan. Parfum yang selalu menebarkan
aroma wangi tubuhnya, membuatku tak ingin lepas saat dia memelukku.
“Bangsat!” aku
mengumpat saat mobil honda jazz berwarna merah metalic itu hampir menabrakku.
Sesaat mobil itu
berhenti berhenti.
Sosok lelaki
muda, berpakaian modis keluar dari daun pintu yang sudah terbuka.
“Maaf. Kamu
tidak apa-apa kan?” Pemuda tampan itu sembari memeriksa, takut jika aku terluka
atau ada bagian tubuhku yang cidera.
“Iya. Aku tidak
apa-apa kok!” Aku sedikit jutek. Tidak ingin sok akrab.
“Kenalin nama
aku Rizki” ia kemudian menyodorkan tangannya, mengajakku bersalaman.
“Oh. Iya. Aku
Frans” aku menyambut tangannya.
Aku merasakan
getar itu. Sungguh. Meski baru pertama kali bertemu.
Semenjak insiden
kecil itu, kau jadi sering mengajakku jalan bareng.
Hingga kau
benar-benar mampu membaca mataku yang kerap kali berbohong saat menatapmu. Iya,
aku mencintaimu, sejak pertama kali kita berjumpa.
8
Jam yang Lalu
Hatiku berat membawa rasa ini untuk hadir di pesta pernikahanmu.
Cintamu tetap milikku, kuyakin Tuhan mengetahui itu. Kau terpaksa menikah
dengan perempuan pilihan orang tuamu, bahkan sebulan sebelum pernikahan ini
berlangsung kau ingin mengajakku pergi ke suatu tempat dimana tidak ada orang
yang mengusik cinta kita. Aku tidak cukup punya keberanian untuk itu.
Akulah
pihak yang sangat tersakiti, oleh cinta, oleh rindu, oleh rasaku sendiri.
Tetapi, bagaimana pun juga aku harus datang di hari pentingmu—hari paling
bahagia keluargamu. Aku tahu kau tak sedikit pun bahagia dengan semua ini. Aku
ingin melihat perempuan pilihan orangtuamu itu.
Aku berjalan lunglai, sendirian ditengah lalu lalang
manusia yang tidak satu pun aku kenal. Bahkan aku tidak tertarik untuk mengenal
satu diantara mereka. Aku ingin segera pulang, janur kuning didepan rumahmu
merobek dinding hatiku.
Dari jauh aku sudah mengenal sosok di pelaminan sana.
Rizki. Iya, itu kau. Lelaki yang sangat aku cintai.
Di sampingmu, entah siapa dia.
Jika
boleh, aku ingin membunuh perempuan yang telah merebut ragamu, dariku. Perlahan
aku langkahkan kaki menuju pelaminan itu, aku sudah siapkan pisau tertajam untuk
menusuk perempuan itu. Iya, aku harus membunuhnya. Malam ini juga.
Tiba
dihadapanmu. Aku masih mendapatkan tatapan indah itu, sama saat pertama kali
kau menatapku. Aku masih merasakan getar cinta itu.
Aku
menyalami tanganmu—menikmati aliran darah yang mengalir dari nadimu.
“Aku
turut bahagia” ucapku sambil memasang senyuman manis.
Bohong!
Ini adalah kebohongan pertama yang aku ikrarkan padanya. Aku adalah orang yang
paling sakit dengan pernikahanmu ini. Bagaimana mungkin aku bahagia dengan
semua ini. Kau tak ingin ucapkan sepatah kata pun untukku. Justru kau menatapku
dengan penuh tanda tanya, aku tak ingin membalas tatapan dari kedua matamu. Kau
memelukku erat, sangat erat, didepan kerumunan manusia. Dengan segera aku
melepas diri dari pelukanmu.
Aku
langsung menuju ke arah perempuan yang ada di sampingmu. Tak sabar ingin
merujamnya dengan air mata ini. Aku ingin menusuknya dengan pelukan hangat,
jabatan tangan hangat, untuk mengubur semua rasa perihku. Iya aku mampu
melakukannya—membunuhnya dengan ucapan selamat, kemudian langsung menyalaminya.
“Kau adalah perempuan paling beruntung di muka bumi ini.”
Kata itu yang bisa aku ucapkan untuk perempuan itu.
“Jangan
pernah sakiti dia.” Aku langsung pergi tanpa hiraukan apa pun. Ingin segera menghilangkan
diri dari pandangan matamu. Air mata ini tak dapat aku tahan lagi. Aku berlari,
membawa luka oleh pisau tajam yang kubawa sendiri.
Oleh: Nico Ajah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar