Jenis Kelamin itu tidak bisa didefinisikan dengan sebuah CD (celana dalam) |
Malam
semakin sayup menerpa kelopak dinding-dinding rumah yang terbuat dari bambu—pelapor’o begitu masyarakat subsuku
dayak mali menyebutnya. Rembulan mulai menampakkan dirinya, menyapa lelahku
yang tak telah terbayar lunas ketika tiba di kampung halamanku. Pejalu,
demikian nama kampung yang tidak terlalu dikenal banyak telinga itu. Entah
bagaimana filosofi nama itu, aku pun tidak begitu banyak tahu. Aku pernah
mendengar cerita ayahku, kalau kampung kami dahulunya adalah tempat
persinggahan pasukan belanda. Di hulu sungai kampung ada tempat persembunyian
bernama Kemawang’k Tayan, dimana
pasukan belanda melepas penat dan beristirahat menginap.
Kampung
pejalu merupakan satu diantara kurang lebih sepuluh kampung yang terdapat di
Desa Cowet. Letaknya berada di daerah pedalaman Kabupaten Sanggau, Kalimantan
Barat. 100% masyarakat yang menghuni kampung Pejalu merupakan Suku Dayak
subsuku Dayak Mali, yang mana suku asli ini 100% ber-agama katolik. Meski
demikian mereka tetap mempertahankan adat budaya leluhur mereka yang
ditinggalkan sejak zaman dahulu kala. Agama adalah agama, adat adalah adat,
saling berdampingan dalam kehidupan Dayak Mali. Tak jarang pula ada perempuan
Dayak Mali yang menikah dengan suku lain kemudian berpindah agama, namun mereka
menerima siapa saja dengan tangan terbuka.
Ah,
bukan tentang kampung ku ini yang ingin kuceritakan dalam tulisan ini. Lain
waktu saya pasti akan menceritakannya lebih detail bagaimana hutan dan manusia
saling menyatu dalam irama kehidupan yang asri, begitulah yang kurasakan selama
ini. Namun sayang beribu sayang belum ada yang dapat mengabadikan keindahan
itu. Suatu saat pasti kubercerita, pasti.
Adalah
sebuah kampung yang tidak jauh dari kampungku. Kira-kira setengah jam jika
berjalan kaki melalui jalan hutan (pada umumnya jalan dari kampung menuju
kampung lain memiliki jalan melalui hutan belantara yang disebut bantes). Disana hidup seorang manusia
yang tidak memiliki kelamin—karena itu aku tidak menyebutnya ‘seorang perempuan
atau seorang laki-laki’. Banyak yang bilang “Kasihan”, tapi apa yang harus
dikasihani? Toh, dia merasa tidak terganggu atas apa yang terjadi dalam
dirinya. Tidak ada yang berbeda, tidak ada yang lain, dia sama seperti manusia
lainnya. Hanya saja sifatnya lebih keibuan, oleh karena itu ia amemilih untuk
menjalani peran sebagai seorang
perempuan. Dan seandainya pun ia memilih untuk menjadi seorang laki-laki, tidak
akan menjadi masalah apa pun bagi tatanan sosial apa pun. Sebut saja namanya
Rindang, seorang perempuan Dayak Mali yang hingga kini tidak memiliki kelamin.
Meski
sudah memilih peran sebagai seorang perempuan, Rindang tetap sering melakukan
pekerjaan layaknya seorang laki-laki, seperti memperbaiki atap rumah,
mencangkul di sawah, dan banyak pekerjaan laki-laki yang dikerjakannya
(sesungguhnya tidak ada batasan untuk klasifikasi pekerjaan untuk laki-laki
atau untuk perempuan, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki
tubuh dan peran yang sama—meski saya yakin jika diperdebatkan dalam forum mana
pun, pendapat saya ini sangat mudah dipatahkan oleh kaum agamawan atau
theolog). Rindang sebagaimana manusia pada umumnya, melewati masa kanak-kanak
yang sama seperti anak lainnya—sekali lagi tidak ada yang berbeda dan tidak ada
yang lain. Ketika beranjak dewasa, ia kemudian mengerti akan segala hal yang
memang belum terketahui olehnya di waktu kecil. Yaitu tentang sesuatu yang
hilang pada tubuhnya—kelamin.
Rindang
hanyalah anak seorang petani miskin yang hidup serba pas-pasan. Jika ia
memiliki orang tua yang kaya raya, mungki saja ia sudah operasi kelamin sejak
ia masih kecil. Hanya saja kelamin yang akan dipasang pastilah tergantung yang
ia kehendaki, karena pada dasarnya ia memiliki hak sepenuhnya atas tubuh yang
ia miliki. Tetapi hal itu mustahil untuk dilakukan, sehingga Rindang hidup
tanpa adanya kelamin. Jika ia ingin membuang air semua aktivitas hanya melalui
lubang anus selama ini. Lalu, apakah dia menjerit? Mengatakan jika Tuhan tidak
adil atas hidupnya? Tidak. Bahkan dia sendiri bahagia atas hidupnya.
Kemudian
ia memilih untuk menikah dengan pemuda dari kampung lain yang menerima Rindang apa
adanya—bukankah begitulah layaknya manusia saling menerima apa adanya. Jika
saja kemudian Rindang memilih untuk menjadi seorang laki-laki, apakah sebuah
kesalahan? Menurut saya, tentu tidak lah. Lalu bagaimana ia akan berhubungan
seks pasca nikah? Tentu hal ini mengakar dalam pikiran masing-masing kita.
Tentu tidak akan ada jalan lain, selain melalui anus. Dosakah? Haramkah? Jangan
pandang atau tafsir hal ini dengan agama mana pun, karena fakta ini akan gugur
seketika oleh perkataan-perkataan yang sudah terpelajari dan tersurat oleh para
ahli agama.
Banyak
orang mengatakan hal demikian adalah hidup yang tidak normal. Nah, ukuran dari
sebuah ke-normal-an hidup itu sendiri apa? Apakah dengan menikahnya laki-laki dan
perempuan lalu hidup normal—selesai. Atau kah perempuan berpakaian laki-laki
dan bergaya seperti laki-laki, kemudian tidak normal—selesai. Tidak sesederhana
itu untuk membangun persepsi dan konsep. Bagi saya semua sisi kehidupan siapa
pun, tidak akan ada yang normal, semuanya tidak normal. Justru jika manusia
dikatakan hidup ‘normal’ itu yang patut dipertanyakan (bagi saya aneh), karena
normal itu berada pada ketidaknormalan itu sendiri.
Ambigu
bukan? Iya, karena setiap manusia memiliki persepsi masing-masing dalam menilai
hidup orang lain. Kembali kepada topik, saya pernah berpikir “bagaimana jika
dahulu Rindang memilih jalan hidupnya sebagai laki-laki—meski tanpa kelamin?”,
sudah pasti ia akan menikah dengan seorang perempuan. Tidak akan ada yang
salah. Jika berbicara ‘kodrat’, bukan Tuhan yang menciptakan kodrat melainkan
manusia itu sendiri, dengan adanya konstruksi-konstruksi sosial dan budaya yang
sudah mengakar pada suatu kelompok. Saya sangat ingat dengan pelajaran agama
yang saya dapatkan ketika saya duduk dibangku SMA, bahwa kodrat manusia itu
diciptakan oleh Tuhan. Sebagai contoh, kodrat perempuan: menyusui, melahirkan,
dan bla, bla, bla. Bagi saya hal itu bukan Tuhan yang menciptakan, melainkan
manusia yang mengkonstruksi aktivitas tersebut karena sudah melekat dalam diri
seorang perempuan. Bagaimana jika Tuhan meng-kodrat-kan manusia ‘harus’
memiliki pendidikan? Kemudian salah siapa jika di negeri ini banyak orang yang
tidak sekolah? Berarti negara mengkhianati kodrat Tuhan dong.
Saya
memiliki teman laki-laki yang gayanya seperti perempuan, suka bersolek dan
sifatnya seperti perempuan. Fisiknya adalah seorang laki-laki, tetapi naluri
batinnya adalah seorang perempuan. Salahkah dia? Banyak yang mengatakan dia
“tidak normal”, saya sempat bertanya ‘tidak normal dari segi mananya?’ mereka
hanya melihat kemudian sesuka hatinya menilai. Kemudian dengan mudah mengatakan
‘kembalilah ke kodratmu’. Kodrat yang mana? Bukankah yang ia jalani sekarang
adalah kodratnya sendiri? Lalu kemudian, banyak orang mengatakan karena salah
bergaul, salah asuhan, salah ini dan itu. Bulshit! Yang salah itu adalah mereka
yang menilai dengan salah. Jika kembali pada cerita diatas, bisakah kita
mengatakan pada Rindang bahwa ia harus kembali pada kodratnya? Tidak akan bisa.
Karena kodrat manusia pada hakekatnya adalah saling mengasihi, saling
mencintai, saling menghargai satu dengan yang lainnya. Bukan justru menyalahkan
ini dan itu, atau menyuruh untuk bertobat.
Tubuhku
adalah tubuhku, tubuhmu adalah tubuhmu. Setiap orang memiliki hak atas tubuhnya
sendiri. Mau bergaya kemayu (laki-laki), atau bergaya perkasa (perempuan), toh
tidak akan mengganggu hak hidup yang kamu dan mereka miliki. Aku, mereka dan
juga kamu, memiliki hak hidup yang sama. Sama halnya dengan Rindang, penentu
jalan hidup ada di tangan kita masing-masing. Bukan pada penghinaan, bukan pula
pada pengucilan yang jelas-jelas merusak hubungan antara manusia dengan manusia
lainnya. Lalu bagaimana dengan status kewarganegaraannya? Apakah dalam kolom sex/jenis kelamin di KTP dan surat-surat kewarganegaraannya menggunakan male/female? Jikan di negara Australia ada kolom Sex: Not Specified, namun di negara Indonesia belum ada peraturan UU yang mengatur hal tersebut.
Oleh:
Nikodemus Niko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar