Oleh: Nikodemus Niko
Katanya
biaya pendidikan saat ini paling murah, tapi masih banyak yang hanya mampu
‘berkhayal’ untuk kuliah.
Kalimat tersebut
menjadi pengantar singkat tulisan ini. Kalimat singkat itu muncul dalam benak saya,
saat saya teringat dengan adik dari salah satu teman saya. Ia adalah salah satu
calon mahasiswa di Universitas Tanjungpura tahun 2013 lalu. Saat itu dia
dinyatakan lulus test di Fakultas MIPA. Tetapi saat mendaftar ulang, biaya yang
harus dibayarkan cukup fantastis bagi dia yang orang tuanya hanya seorang buruh
tani. Dia menangis penuh uraian air mata saat bercerita dengan saya, sehingga
mau tidak mau dia harus mendekam impiannya untuk bisa kuliah di Universitas
yang cukup ternama di Kalimantan Barat ini.
Sebagai mahasiswa yang
sudah cukup lama berada di kampus, pasti tidak asing bagi kita membaca atau
mendengar istilah UKT atau singkatan dari Uang Kuliah Tunggal dan juga BKT atau
singkatannya Biaya Kuliah Tunggal. UKT dan BKT ini merupakan satu kesatuan yang
tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor
55 Tahun 2013. Tetapi tak bisa untuk dipungkiri tidak sedikit mahasiswa yang
tidak mengetahui apa itu UKT atau BKT, tidak terkecuali mahasiswa di
Universitas Tanjungpura Pontianak. Iya, hal itu karena minimnya sosialisasi
tentang UKT kepada mahasiswa. Sudah dua tahun ajaran ini UKT diberlakukan yaitu
tahun ajaran 2013/2014 dan tahun ajaran 2014/2015, tetapi belum pernah ada
satupun kegiatan sosialisasi yang saya jumpai di kampus-kampus.
UKT telah menjadi
bahasan ‘sebagian’ kalangan akademisi sejak tahun 2012, hingga pemberlakuan
sistem UKT di tahun 2013 lalu. Tentu dengan berbagai pandangan yang berbeda,
ada yang pro dan ada pula yang kontra. Pandangan yang beragam itu muncul karena
banyaknya spekulasi, terutama mengenai besaran pembayaran UKT ini. Katanya, UKT
yang diberlakukan di Perguruan Tinggi Negeri ini ditujukan untuk mempermudah
dan mengurangi beban finansial mahasiswa baru dalam membayar uang perkuliahan.
Apakah benar begitu? Pada contoh kasus yang saya temukan, kata mempermudah nya
justeru lebih sedikit. Pada bulan Februari lalu, banyak Maba Fisip yang
mengeluh dengan sistem UKT ini. Bayangkan saja orang tua hanya berprofesi
sebagai buruh kebun karet, harus membayar uang kuliah anaknya sebesar 2.500.000
saat itu juga. Mau muntah uang darimana?
Menurut informasi yang
saya dapatkan, biaya kuliah yang dibebankan pada mahasiswa dibagi menjadi lima
golongan. Golongan pertama diberlakukan bagi mahasiswa yang latar belakang
ekonomi keluarga kurang mampu, hingga
golongan kelima yang merupakan mahasiswa dengan latar belakang keluarga sangat mampu. Masalah baru yang turut
timbul dengan pemberlakuan sistem berjenjang ini adalah cara mengelompokkan
mahasiswa dalam golongan-golongan ini. Oke,
fix. Dengan menunjukkan bukti seperti surat pendapatan orang tua, rekening
listrik, rekening air, rekening PBB, dan lain-lain. Apakah cara ini dapat
dinilai efektif? Sepertinya tidak. Karena terjadi pada banyak kasus, mahasiswa
sudah mengisi data dengan benar tetapi diberlakukan pembayaran uang kuliah yang
tidak sesuai yang bisa saja memberatkan mahasiswa.
Sesuai judul tulisan
ini, tentu pembaca yang budiman bertanya-tanya letak ribet-nya itu dimana? Bilamana kita memahami UKT sepintas lalu,
yang kaya bayar kuliah mahal dan yang miskin bayar kuliah murah. Kata yang
cukup sederhana, namun memahami sistem UKT yang ada di Untan sendiri tidak
sesederhana itu. Bahkan banyak mahasiswa baru yang hanya ikut-ikut arus saja, tanpa tahu menahu apa itu UKT. Jangankan
mereka yang baru duduk di bangku kuliah, mahasiswa yang sudah lama dikampus
saja banyak yang tidak mengerti UKT, atau bahkan mungkin dosen-dosen di kampus
juga ada yang belum mengerti sistem UKT.
Ketika UKT diterapkan,
pendapatan universitas maupun fakultas akan menurun drastis. Lha, kok bisa? Iya, penurunan pendapatan
ini karena Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pembayaran sumbangan
pengembangan manajemen pendidikan (SPMB) kampus sudah tidak diberlakukan lagi.
Lalu, bagaimana strategi universitas atau fakultas menghadapi itu di tahun
ajaran baru ini? Apa mungkin pembukaan prodi baru turut berpengaruh? Atau
memperbanyak penerimaan mahasiswa non-reguler yang tidak diberlakukan sistem
UKT? Bisa jadi.
*Penulis
adalah Demisioner Lembaga Pers Mahasiswa Mimbar Untan 2013/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar