Bingkisan
Terakhir Untuk Ayah
By: Nikodemus Niko
Birunya
langit yang menyatu dengan laut dihiasi kilau cahaya mentari pagi ini sungguh
menakjubkan setiap insan ciptaannya. Sebongkah batu besar menambah semerbak
indah pantai kura-kura beach di pagi ini. Lambaian daun kelapa ditepi pantai
seakan kudapatkan dari seseorang yang pernah hadir dalam hidupku. Angin
berdesir menembus tulang belulangku yang terasa lelah.
Perlahan ku
buka kedua mataku yang mulai redup bersama nyanyian ombak di tepi pantai. Aku
masih merenung, kebingungan. Kemana lagi kaki ini kan hendak melangkah. Tak ada
lagi dia yang dahulu selalu menemaniku. Semua berlalu bersama kenangan yang
kini telah usang. Aku rapuh, tak ada gairah lagi tuk jalani hari-hari.
“hai,
sendirian aja nih”, sapa ardi yang sedari tadi memperhatikan ku.
“iya nih, Ar. Adek aku belum pulang sekolah, makanya aku
sendiri aja”, jawabku pada ardi.
“oh, gitu ya. Boleh aku temenin nggak?”, ardi mencoba
menawarkan dirinya.
“oh, tentu boleh lah, Ar”, jawab ku lagi.
Meski sudah ada ardi yang menemaniku, pikiranku masih
menerawang jauh tanpa arah. Aku masih tertegun dalam lamunan yang tak kunjung
berujung kurasakan.
“aku masih ingat masa-masa kita kecil dulu lho Rin”, Ardi
sambil menatap wajahku.
“Rin, Rina. Kamu kenapa?”, Ardi melambaikan tangan kanannya
ke arah mataku.
“oh, eh. Iya, Ar. Kenapa?”, aku yang sejak tadi terdiam
dalam lamunan tersentak kaget. Sambil ku menyusup air mata yang tak ku rasakan
meleleh di pipiku.
“kamu menangis Rin? Kamu kenapa?”, Ardi terlihat panik dengan
wajah yang serius.
“aku tidak apa-apa kok Ar. Tadi mata aku kelilipan. Ada
sampah ndak?”, aku mengelak sambil mencari-cari alasan dengan berpura-pura
menunjukkan mataku.
“Rina, aku kenal kamu dari kecil. Kita temanan bukan hari
ini dan kemarin, tetapi sejak kita masih kecil. Aku tahu siapa kamu Rin, kamu
ada masalah? Cerita sama aku Rin”, Ardi berusaha menenangkan perasaanku yang
tiba-tiba ingin kuluapkan. Aku langsung rebahkan kepalaku di dada bidang Ardi,
sahabat yang selalu ada dikala aku punya masalah. Aku tumpahkan tangisku yang
tak bisa ku redam lagi.
“maafkan aku Ar. Aku jadi cengeng kayak gini”, aku
melepaskan diri dari pelukan yang seketika membuatku merasa nyaman.
“nggak apa-apa kok, Rin, kamu cerita ma aku, kamu ada
masalah apa?”, Ardi berusaha mencoba tuk tahu apa yang sedang terjadi pada diri
aku.
“aku belum bisa cerita sekarang Ar, maafin aku”, aku sembari
mebuang muka dari ardi.
“o, ya tadi kamu bilang apa Ar. Tentang masa kecil kita”,
aku berusaha tuk mengalihkan pembicaraan.
“iya, aku kangen masa-masa kita waktu kecil dulu. Setiap
hari sabtu dan minggu kita selalu sama-sama berjualan manisan di pantai”, Ardi
berusaha menerawang masa lalu yang seolah masih menari di pelupuk matanya.
“hahahaha. Aku juga sangat merindukan masa-masa itu Ar”, aku
sambil tertawa renyah. Masa kecil itu tak pernah kulupakan sedikitpun dalam
hidupku. Menjadi seorang anak pantai yang berjuang setiap hari untuk
mendapatkan sesuap nasi. Berjualan manisan buah-buahan ditemani sengat terik
mentari pantai, membuat semangatku tak pernah surut tuk berjuang dan belajar.
Dari situlah awal kisah ku
bermula. Waktu itu umurku 14 tahun. Saat ku menawarkan daganganku kepada
sepasang turis asing. Mereka tidak terlalu pandai berbahasa indonesia.
“manisan nya pak, bu”, ucapku pada kedua orang bule itu.
“what do you say?”, sahut salah seorang dari mereka.
“oh, iya”, aku yang tak mengerti apa yang diomongkan orang
itu langsung ingin beranjak pergi.
“hey, where are you going?”, orang itu tiba-tiba menghadang
langkahku.
“kemu mau pegi kemena?”, kata orang bule itu seperti anak TK
yang lagi belajar ngeja saja.
“saya mau berjualan disana”, jawabku sambil menunjuk ke arah
orang ramai.
“jangan pegi dulu”, yang perempuan nya ikut seperti anak TK
juga. Mereka seperti mahkluk luar angkasa yang tidak aku mengerti sama sekali
bahasanya.
“you, kemu kelas berapa school, sekolah?”, masih saja orang
itu seperti nenek-nenek kehilangan tongkat.
“saya kelas dua SMP”, sahutku dengan lantang.
“kemu mau jadi anak kemi?”, mereka menunjukkan diri mereka,
aku malah jadi bingung sendiri maksud orang bule itu.
“mau”, jawabku polos. Aku yang tidak mengerti apa-apa,
langsung kubawa mereka pulang kerumahku yang tidak terlalu jauh dari bibir
pantai.
“maaf rumahnya jelek”, ucapku sambil tertawa pada kedua bule
itu. Mereka malah ikutan tertawa sambil bilang “Oh”. Mungkin mereka tidak
mengerti dengan apa yang aku ucapkan. Setelah mereka berpanjang lebar berbicara
pada bapakku, karena sejak kecil ibuku sudah pergi jauh meninggalkan kami
semua.
Aku dibawa
ke pontianak oleh sepasang bule itu. Mereka adalah duta dari belanda yang
ditempatkan diwilayah kalimantan barat. Mereka belum mempunyai anak, sehingga
rumah dinas mewah yang mereka tempati di jalan Ahmad Yani itu tampak sepi tanpa
anak-anak. Semenjak itu aku dibiasakan untuk hidup mewah, tetapi aku merasa
didalam darah aku mengalir darah pesisir pantai yang tak bisa untuk aku ubah.
Aku tetap menjadi diri aku sendiri, mencuci pakaian sendiri, membersihkan
rumah, dan kegiatan lainnya. Mereka semakin menyayangi aku. hingga saat aku
berumur 18 tahun, pertama kali aku masuk di perguruan tinggi ternama di
Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjung Pura, Pontianak. Aku tercatat
sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran. Aku tidak pernah bermimpi untuk bisa
duduk di bangku kuliah, apalagi bisa masuk di Fakultas Kedokteran. Sering aku
menangis sendiri, mengenang nasibku lima tahun lalu.
Saat tiba
waktu liburan semester, aku selalu pulang mengunjungi ayah dan adik-adikku.
Itulah waktu untukku melepaskan segala kerinduan ku pada mereka. Mencurahkan
kepenatan yang kulalui di kota pontianak.
“ayah sekarang jangan melaut lagi yah”, aku mengingatkan
ayah yang dahulunya selalu melaut untuk mencari rupiah untuk pendidikan kami.
“iya, Rin. Ayah sudah tidak pernah melaut lagi semenjak kamu
tinggal di pontianak. Siapa yang jaga adik-adik kamu?”, ayah masih tetap
seceria dulu. Senyum indah yang dulu masih bisa kudapatkan hingga sekarang.
“kan setiap bulan, orang tua angkatmu selalu mengirimi ayah
uang”, ucap ayah kemudian.
“iya, ayah jangan sering capek. Rina tidak mau ayah sakit
saat Rina tidak ada di samping ayah”, aku tampak menunjukkan raut wajah
sedihnya karena harus berpisah lagi dengan orang-orang yang ia cintai.
“doakan Rina ya, yah”, ucapan terakhir itu mengiringi deru
suara mobil ku meninggalkan rumah ayah yang kini sudah berdiri kokoh, tegap
meski nampak sederhana.
“doa ayah selalu menyertaimu Rin”, ayah berucap dalam hati
yang seakan ikut menggetarkan hatiku.
Tugas akhir
membuat ku sibuk dan tak sempat untuk mengetahui keadaan ayah dan juga
adik-adikku. Tetapi kadang aku sms mereka, namun tidak terlalu sering. Menjadi
dokter pendamping di rumah sakit Antonius adalah suatu kebanggan buat aku.
Selain membantuku menyelesaikan skripsi, aku juga selalu mendapatkan uang
tambahan dari pihak rumah sakit. Mungkin hanya sebagai penghargaan saja. Target
ku, tiga bulan lagi aku harus wisuda dan mendapatkan gelar Dokter.
Berbagai
praktek selalu menyibukkan ku, hingga aku tidak mengetahui kalau ayah sedang
sakit di kampung. saat adik-adikku sms yang mengabarkan bahwa ayah sedang
sakit, aku hanya balas “jangan lupa suruh minum obat dan periksa ke dokter”.
Aku tidak tahu kalau ayah menderita penyakit kronis yang sudah parah.
Penyelesaian
skripsi ku sudah memasuki tahap akhir, sehingga aku tidak punya waktu untuk
orang lain, bahkan diriku sendiri. Aku sering telat makan, bahkan sempat juga
sakit-sakitan. Sehingga membuat orang tua angkatku panik. Detik terakhirku
menghadapi sidang skripsi membuat sekujur tubuhku dingin. Aku tidak tahu entah
kenapa semua bisa terjadi.
Di ruang dan waktu yang berbeda, terbaring sosok ayah yang
kini telah menjadi jenazah. Sosok yang pantang menyerah, sosok yang selalu
tersenyum dalam keadaan sesulit apapun.
Detik bahagia ku memperoleh gelar dokter, beriringan dengan
terhentinya nafas ayah berhembus di dunia ini. Aku girang, aku bangga, aku
bahagia, semua rasa membaur dalam jiwaku saat itu. Tak dapatku ungkapkan dengan
kata-kata apa yang terjadi.
Seketika
ria itu terhenti, dunia kini terbolak saat ku lihat ada puluhan kali missed
call. Saat ku baca salah satu sms dari adik ku yang mengatakan bahwa ayah telah
meninggal dunia. Semua bahagia ku tiba-tiba menjadi sebuah ledakan tangis. Tak
ada yang lebih berarti dalam hidupku selain saat ku lihat senyum ayah ketika
aku memperoleh gelar Dokter. Tetapi semua pupus, sirna tanpa bekas.
Aku langsung bergegas menuju kampung halaman ku tercinta.
Tak kuhiraukan lagi siapapun. Di sepanjang perjalanan aku tak bisa menahan air
mata.
Ku
langkahkan kaki gontai saat tiba didepan rumah ayah. Dari kejauhan tampak sosok
yang tak asing dimataku, kini telah terbungkus kain putih. Aku menangis, aku
terpukul.
“ayah, Rina sekarang sudah jadi Dokter beneran yah. Bangun
yah, dengarkan Rina bercerita”, aku terisak dalam tangis sembari
mengguncang-guncangkan jenazah ayah.
“ayah, bangun yah. Rina punya hadiah buat ayah, rina sayang
ayah. Maafkan rina yah. Rina tak berada di samping ayah saat-saat terakhir
ayah”, aku terus menangis tanpa henti. Aku menyesali semua yang terjadi hanya
dengan tetesan air mata.
Aku tidak
akan pergi kemanapun lagi, setelah menyelesaikan studi ku dan mendapatkan gelar
Dokter. Aku memilih untuk tinggal di kampung halamanku. Aku akan mengabdi
disana. Untuk ibuku, untuk perjuangan ayahku. Aku tidak pernah membayangkan aku
yang dahulu adalah penjual manisan, kini telah berdiri tegap menjadi seorang
dokter yang siap mengabdikan diri kepada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar