Baju merah
untuk bunda......
By: nikodemus niko
Langit masih tampak gelap, embun
pagi mulai luruh hinggap di dedaunan. Membasuh bumi dengan penuh belas kasihan.
Dari kejauhan tampak seorang ibu separuh baya dengan sebuah keranjang di
gendongan nya. Ia berjalan menelusuri hutan belantara di pagi buta untuk
mencari nafkah. Dia adalah ibu lusia. Ia tinggal bersama seorang anak nya yang
bernama niko, tidak jauh dari tepi hutan. Mereka tinggal di sebuah gubuk reot
yang telah usang dan tampak tak layak huni. Namun, keadaan lah yang memaksa mereka
untuk tinggal di gubuk itu. Di pagi buta, ibu lusia harus pergi ke hutan untuk
mencari nafkah. Ia bekerja sebagai buruh penoreh kebun karet yang hasil nya di
bagi dua dengan pemilik kebun. Sementara niko harus pergi sekolah di sebuah SMP
yang letak nya sangat jauh dari tempat mereka tinggal, sekitar dua jam
perjalanan di tempuh dengan berjalan kaki. Jarak sekolah yang begitu jauh,
tidak menyurutkan semangat niko untuk pergi ke sekolah. Meski dengan
keterbatasan, niko sungguh gigih menimba ilmu.
“gimana belajar mu hari ini nak?”,
ibu lusia bertanya pada niko sambil meniup api yang berasap pada sebuah tungku
besi yang sudah berkarat, dengan sebuah panci di atasnya. “hari ini niko dapat
nilai delapan bunda pelajaran matematika. Tadi belajar tentang aritmatika,
susah benar bunda”, niko dengan nada lantang. “hahahahahaha, kamu belajar arit
jangan di sekolahan, di sawah saja nak”, ibu lusia tertawa lebar. Ia sangat
suka bercanda dengan buah hati yang sangat ia sayangi di dunia ini. “bukan arit
yang buat nebas rumput itu bunda, hahahahaha”, niko ikut tertawa melihat ulah
ibunya. “iya, bunda tahu nak. Kamu harus rajin-rajin belajar. Hanya kamu
tumpuan bunda satu-satu nya nak. Kamu harta paling berharga yang bunda miliki
sekarang”, tawa yang tadi baru saja terdengar, kini menjadi sebuah nada sedih.
Ibu lusia meraih tubuh niko dan memeluknya.
Hari kian sore, untuk makan nanti
malam, ibu lusia memasak daun singkong yang ia petik di samping rumah nya. Daun
singkong yang hanya sedikit itu ia masak dengan kuah yang hampir setengah
panci. “bunda masak apa?”, niko keluar dari bilik kamar yang hanya bertutup
bambu. “bunda masak sayur kesukaan kamu nak”, bunda menjawab dengan nada
lembut. “asik...... udah matang belum bunda? Niko sudah lapar nih”, niko sangat
girang dan bernada manja. “belum. Sebentar lagi nak, yang sabar ya”, bunda
dengan penuh bijaksana. “sayur nya sudah matang. Tolong ambilkan ibu mangkok,
nak”, bunda bersuara pelan. Niko segera mengambil sebuah mangkok kecil.
“mangkok ini mana cukup, nak. Ambilkan lagi mangkok yang agak besar”, kata
bunda sambil mengaduk-aduk sayur yang sudah matang itu. “kok bunda masak sayur
nya banyak sekali”, Niko sambil menyodorkan sebuah mangkok yang ukuran nya
cukup besar. Bunda langsung mengangkat panci yang berisi sayur dan menuangkan
dalam mangkok. Sayur yang hanya berisi kuah dan sedikit daun singkong itu niko
pandang dengan penuh syukur. Bunda kembali menitikkan air mata. “bunda kenapa
menangis?”, niko terheran. Kembali bunda merangkul tubuh mungin niko. “maafkan
bunda nak, hanya ini yang mampu bunda berikan”, bunda sambil terisak. Niko pun
ikut menangis dalam pelukan bundanya, “bunda, semua ini sudah cukup buat niko. Semua
ini berkat dari Tuhan, bunda. Kita harus bersyukur”, niko sambil mengusap air
mata nya. “bunda jangan sedih lagi ya. Puji Tuhan, kita sudah di beri rejeki
hari ini, bunda”, niko berusaha menenangkan sembari menyapu air mata bunda nya.
Mereka pun makan dengan penuh syukur.
Pagi menjelang, mentaripun bersinar
penuh gemilau. Membuat langkah niko tidak pernah lelah untuk menelusuri hutan,
demi menimba ilmu. Terkadang ia sering terlambat masuk sekolah, karena harus
membantu pekerjaan bunda.
“selamat pagi,
bu. maaf saya terlambat lagi”, ucap niko pada bu guru yang sedang mengajar di
depan kelas. Seisi kelas menatap ke
arahnya.
“kenapa kamu
terlambat niko?”, tanya ibu guru padanya.
“tadi pagi saya
membantu ibu antarkan dagangan dulu ,bu”, niko menjawab dengan polos. Guru-guru
di sekolah niko pun sudah mengenal sosok niko yang selalu membantu ibunya.
Meski demikian, niko juga terkenal sebagai salah seorang siswa yang pintar dan
berprestasi di sekolah. Dengan keterbatasannya nico selalu membuat guru-gurunya
bangga.
***
Sore itu awan tampak marah. Langit
tak terlihat berseri seperti biasanya. Rintik hujan mulai membasuh bumi. Niko
dan bundanya sudah sejak lama berada di dalam gubuk tempat mereka tinggal.
“bunda. Besok
niko akan ikut lomba cerdas cermat di tingkat kecamatan”, niko memberitahu
bunda nya kalau ia akan menjadi utusan sekolahnya dalam ajang lomba cerdas
cermat di tingkat SMP se-kecamatan.
“iya kah nak?
Lomba cerdas cermat yang makan kerupuk itu ya?”, bunda masih saja lemod.
“bukan bunda.
Cerdas cermat itu lomba mata pelajaran”, niko mencoba menjelaskan.
“oh, begitu”,
bunda tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala nya.
“kau sudah
belajar belum untuk persiapan besok?”, bunda bertanya lagi.
“niko sudah
belajar dong bunda, dari kemarin malahan. Bunda doakan niko ya, biar bisa
menang. Membawa nama sekolah, biar bisa terkenal”, niko berucap dengan nada
sombong namun bergurau dengan bunda nya.
“amin. Amin.
Bunda selalu mendoakan yang terbaik untuk mu nak”, bunda merangkul niko sembari
mencium keningnya.
Pagi-pagi sekali niko sudah berada
di sekolah untuk berangkat ke kecamatan. Ia akan pergi bersama teman-teman dan
guru-gurunya. Sebelum berangkat ia dan teman-temannya mengadakan doa bersama.
Niko terlihat khusuk sekali, ia sangat ingin menjadi pemenang dalam ajang
bergengsi itu, ia ingin mengharumkan nama sekolahnya. Setelah beberapa menit
berlalu, mereka berangkat dengan di boncenga sepeda motor gurunya.
Setibanya di sana, mereka hampir
saja terlambat karena perlombaan sudah mau di mulai. Dengan tergopoh-gopoh niko
dan teman-temannya menempati bangku peserta yang sudah disediakan oleh panitia
lomba. Selama perlombaan berlangsung niko dan teman-teman terlihat santai, guru
pembimbing mereka hanya tersenyum melihat mereka dari bangku penonton. Semangat
itulah yang membuat niko dan kawan-kawan keluar menjadi juara pertama dalam
ajang itu. Piala yang setinggi satu meter itu diterima oleh niko sebagai
perwakilan, niko ingin menangis dalam keharuan. Selain menjadi juara dalam
lomba itu, niko juga mendapatkan beasiswa sekolah hingga ia tamat SMA. Jika
saja bunda nya bisa ikut menyaksikan keberhasilan niko saat ini, mungkin ia
akan terharu dalam tangisan.
Sebelum pulang ke daerah terpencil
yang terletak di perkampungan, waktu seharian itu juga dimanfaatkan niko dan
teman-temannya untuk menikmati keramaian kota. Mereka memasuki toko-toko
pakaian hanya sekedar untuk melihat-lihat saja. Dari kejauhan tanpa sengaja
niko melihat sebuah baju berwarna merah, tidak terlihat mewah tetapi sangat
menarik hati niko untuk mendekat.
“baju ini indah
sekali”, gumam niko dalam hati nya. Ia memberanikan diri untuk memegang baju
itu.
“ingin sekali
aku membeli baju ini untuk bunda”, hatinya terus berkecamuk dalam statement
yang sederhana. Dari kejauhan bu sulis, guru niko melihat niko yang sedang asik
dengan baju itu. Perlahan gurunya mendekat.
“kamu mau beli
baju itu ya niko?”, petanyaan itu mengejutkan niko dengan raut muka yang tak
menentu. Niko tidak menjawab, baju itu masih di pegangnya. Ia hanya menarik
nafas panjang, tak tahu harus menjawab apa.
“kalau kamu mau
nanti ibu yang bayarkan, tadi kan kamu menang lomba. Uang kamu masih ibu yang
pegang”, bu sulis berkata bijaksana pada niko.
“i.i.i.iya bu.
Saya ingin beli baju ini untuk bunda”, niko tergugup namun dengan penuh
semangat. Tanpa ragu lagi ia langsung membawa baju itu ke kasir untuk di
bayarkan.
“terima kasih
ya bu”, niko sambil tersenyum. Ibu sulis hanya bisa tersenyum sambil
menganggukkan kepala.
Rumah niko tampak sepi. Terlihat
hanya kucing yang sedang tidur di atas karung goni. Bunda belum tampak sama
sekali, niko sudah sangat rindu ingin bertemu bunda. Seharian ini ia tidak
bersama bunda.
“bunda, bunda.
Bunda dimana?”, niko memanggil-manggil bunda nya. Tak ada sahutan yang
terdengar oleh niko.
“bunda
dimana?”, niko agak sedikit berteriak, karena ia tahu kalau bunda nya
bermasalah dengan pendengaran nya.
“iya. Bunda
disini”, terdengar sahutan dari belakang rumah. Niko bergegas menuju sumber
suara.
“kau sudah
pulang nak?”, bunda hanya bisa bertanya begitu saat niko pulang.
“iya bunda.
Niko punya sesuatu buat bunda”, niko sambil menarik tangan bunda nya untuk naik
ke bilik rumah. Niko sambil menunjukkan baju merah yang dibelikan nya di kota.
“ini untuk
bunda nak?”, bunda seperti tak percaya dibelikan baju bagus. Selama ini ia
tidak pernah membeli baju baru. Pakaian yang mereka pakai sehari-hari hanya
pakaian bekas yang diberikan majikannya.
“iya bunda.
Berkat doa bunda, niko bisa menang lomba. Uang nya niko pakai buat beli baju
ini untuk bunda”, niko menahan diri dengan mata yang berkaca-kaca melihat
kebahagiaan bunda nya. Bunda langsung memeluk erat tubuh mungil niko sembari
terisak. Keduanya larut dalam tangisan, dengan penuh syukur bunda berterima
kasih pada Tuhan yang memberikan rejeki untuk mereka. Waktu akan menjawab semua
rencana Tuhan untuk umat nya. Bukan Dia tidak menggubris segala doa dan
permohonan kita, tetapi ia sudah menyiapkan rencana terindah-Nya dalam hidup
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar