Penyesalan
di Akhir Kisah
By: Nikodemus Niko
Langit
mendung tak ditemani sinar mentari pagi ini tak menyurutkan semangat Farhan
untuk mengarungi hari, melewati tugu digulist yang tepat berada di jantung
Universitas Tanjung Pura Pontianak. Padatnya kendaraan membuat Farhan
menurunkan kecepatan kendaraan roda dua yang selalu menjadi teman setianya
dalam mengarungi dunia perkuliahan.
Farhan adalah anak seorang
pejabat tinggi di bumi khatulistiwa ini. Farhan saat ini sudah menempuh
akhir-akhir masa studi nya di jurusan Ilmu Sosiologi. Meski demikian dia adalah
sosok yang tak terlalu dikenal banyak orang di kampus nya. Entah apa yang
membuat nya bersikap tertutup. Bahkan teman dekatnya sekalipun tidak terlalu
mengerti dengan sikap Farhan.
Setiba nya di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, yang biasa disebut “kampoes biroe”, Farhan perlahan
memasuki halaman parkiran yang tidak terlalu luas itu. Tanpa basa-basi dengan
siapapun ia langsung beranjak menuju ruang kelas nya.
“woy, bro. Apa kabar ni?”, kedatangan Farhan disambut hangat
oleh Reynald, sahabat baiknya.
“woy. Kabar baik bro. Ape can kau ni?”, Farhan dengan bahasa
khas pontianak, sembari menyalami sobatnya.
“tak ade ni, bro. Tadi malam kau ke mane bro?”, tanya
Reynald yang tak mau kalah logat pontianak nya.
“tak ade ke mane-mane. Di rumah yak, mang kau ke mane?”,
Farhan balik bertanya pada Reynald.
“aku semalam ke PCC, ade pameran gadget boy. Rase aku nak
beli, tapi belom ade duet nye ni”, jelas Reynald sambil tertawa.
“wihh, benar sikit lah bro, ngape aku tak tau ye?”, Farhan
malah tambah semangat.
“camane kau nak tau, kau diam di rumah yak terus”, canda
Reynald pada sahabatnya itu. “dah lah. Dah ade dosen tu”, Reynald sembari
menunjuk ke arah pintu kelas.
Selesai kuliah
Farhan langsung pulang ke rumah nya di kawasan perumahan elit danau sentarum,
kota baru, pontianak. Itulah yang terjadi pada diri Farhan.
Rumah-Kampus-Rumah-Kampus. Meski banyak UKM yang tersedia di tingkat kampus
maupun di tingkat universitas, namun tak satupun yang menarik minatnya untuk
terjun di dunia organisasi. Sebagai mahasiswa banyak hal yang bisa di lakukan
di dalam maupun di luar kampus, tetapi berbeda dengan diri Farhan yang hanya
mentok di kampus dan di kelas saja. Dari segi akademik, Farhan tergolong anak
yang pintar di kelasnya. Selama tujuh semester ini nilai mata kuliahnya tidak
ada terdapat angka C.
Seketika
Farhan tersentak kaget mendengar nada dering dari hp nya. Tertera tulisan di
layar ponselnya, “Farhan, papa kecelakaan masuk rumah sakit Antonius”. Pengirim
sms itu adalah mamanya Farhan. Bergegas Farhan ke garasi mobil dan langsung
menuju rumah sakit Antonius. Tidak sampai sepuluh menit Farhan sudah menemui
mamanya yang sedang terisak.
“ma, gimana keadaan papa?”, Farhan dengan muka sendu.
“papa lagi kritis han”, mamanya sambil terisak. Farhan
kemudian memeluk mamanya erat.
“gimana ceritanya papa bisa kecelakaan ma?”, Farhan bertanya
lagi.
“mama juga kurang tahu han, tadi pas waktu mama lagi di
butik suster nelpon mama dan bilang kalau papa kecelakaan di jalan diponegoro”,
mama Farhan masih tak bisa hentikan tangisnya.
Tiba-tiba dokter muncul dari balik pintu ruang ICCU.
“maaf, keluarga nya pak Haryo Pratama?”, tanya dokter yang
mendapatkan Farhan dan ibunya yang sedang berpelukan.
“iya, dokter. Saya anak nya pak Haryo”, jawab Farhan tegas.
“bisa ikut ke ruangan saya, ada yang ingin saya bicarakan”,
dokter langsung menuju ruang kerjanya diikuti oleh Farhan dan mamanya.
“silakan duduk”, dokter mempersilakan Farhan dan mamanya.
“iya, terima kasih dokter”, sahut mama Farhan yang sudah
agak sedikit tenang.
“begini saudara Farhan”, dokter mengawali kata-katanya. “pak
Haryo kehilangan banyak darah, dan kebetulan stok darah di rumah sakit yang
golongannya sama dengan pak haryo sudah habis”, jelas dokter kepada Farhan dan
mamanya.
Malam kian
larut bersama rintik hujan yang membasuh bumi khatulistiwa. Farhan tampak
kebingungan dengan keadaan yang ia hadapi sekarang. Di pontianak ia tak kenal
banyak orang. Kemanakah ia harus mencari bantuan? Hingga akhirnya ia menelpon
Reynald, sahabat dekatnya untuk menolongnya mencari batuan.
“rey bapak aku masuk rumah sakit, gimana ni? Aku harus dapat
darah yang golongan O untuk bapak aku”, ujar Farhan sedikit panik.
“iya Han, aku akan bantu kau sebisa aku”, Reynald seolah
menunjukkan solidaritas nya sebagai sahabat.
“gimana kalau kita ke PMI jak, yang di jalan Ahmad Yani tu”,
seru Reynald lagi.
“ayok lah”, Farhan dan Reynald langsung menuju tempat dimana
mobil Farhan diparkirkan.
Setibanya
di PMI, tidak ada golongan darah yang di cari. Farhan dan Reynald harus kecewa,
dan usaha mereka dirasakan sia-sia.
“kemana lagi kita harus mencari ni Rey?”, Farhan terlihat
putus asa.
“aku pikir-pikir lok bro”, Reynald pun jadi ikutan tegang.
“aku tahu kita mesti ke mana. Ayok ikut aku”, Reynald
tiba-tiba teringat dengan UKM PMI yang ada di Untan. Mereka langsung menuju
tempat itu. Disana mereka langsung mendapatkan pendonornya, yang kebetulan ada
di tempat.
Di ruang
yang berbeda, ayah Farhan kondisinya semakin lemah. Benturan keras dikepalanya
membuat darah tak berhenti mengalir. Sudah tiga jam berlalu, ayah Farhan tak
kuat lagi untuk menahan sakit. Hingga akhirnya ia harus menghembuskan nafas
terakhirnya di kasur rumah sakit. Saat diperiksa oleh dokter, pak Haryo memang
sudah tidak bernyawa lagi.
Di ujung
pintu, tampak Farhan memegang sebuah kantong kresek yang berisikan dua kantong
darah golongan O. Maut memang tak bisa di tunda, Farhan harus menitikkan air
mata karena harus kehilangan sosok papa yang selama ini ia sayang. Ia pandangi
sekujur tubuh yang terkulai lelap itu dengan tatapan kosong. Air matanya
mengalir dari sudut indah di kedua matanya.
“papa............. jangan tinggalin Farhan, pa”, Farhan
teriak sekuat yang ia mampu. Mamanya yang tak bisa terima kenyataan pahit itu harus
di bopong karena pingsan. Nasi sudah menjadi bubur. Semua usaha Farhan percuma.
***
Pagi
berganti malam, membuat waktu tak pernah bisa terhentikan. Semenjak kepergian
papanya, Farhan jadi sering murung di kampus. Sementara ia harus menyelesai kan
tugas akhirnya yaitu skripsi. Ia tak pernah berpikir panjang dalam mengambil
suatu tindakan, pikiran nya kacau, galau dan sedih. Semua menjadi satu paket
yang tak bisa terpisahkan dari hidup Farhan saat ini. Ia harus mengeluarkan
uang banyak untuk membeli sebuah skripsi dari orang lain.
Tak butuh
waktu lama baginya untuk mendapatkan gelar sarjana. Saat wisuda, Farhan menjadi
salah satu mahasiswa yang cum loud, dengan IPK nya 3,90. Hal ini menunjukkan
bahwa, Farhan adalah salah satu mahasiswa berprestasi di kampusnya.
Setelah keluar
dari dunia kampus, Farhan di tuntut untuk memasuki dunia kerja. Bukan hanya
bermain game saja di rumah. Berbagai perusahaan ia sudah coba masukkan lamaran
pekerjaanm namun alhasil, semua nihil. Bukan hanya IPK saja yang diutamakan
untuk mencari suatu pekerjaan, tetapi juga skill dan pengalaman dalam sebuah
organisasi. Hampir rata-rata perusahaan yang sudah mewawancarai nya, menanyakan
hal yang serupa yakni “waktu kuliah pernah masuk organisasi apa?”. Pertanyaan
itu yang selalu terasa berat untuk ia jawab.
Kesana
kemari ia mencoba dan mencoba lagi untuk bisa mendapatkan pekerjaan, namun
keberuntungan belum berpihak padanya. Semenjak saat itu Farhan kehilangan arah
hidupnya, ia mengalami depresi tingkat berat, hingga ia harus dirawat di Rumah
Sakit Jiwa.
Secarik kertas usang tersimpan rapi diselipan buku
hariannya.
“aku pernah kehilangan
orang yang berarti dalam hidup aku, yaitu papa. Aku sangat menyesal karena aku
terlambat menolongnya. Aku mengira itu adalah penyesalan terakhir dalam hidup
aku. Tetapi aku salah, ada penyesalan yang lebih berarti lagi. Aku pernah
kehilangan kesempatan menimba pengetahuan pada waktu aku masih kuliah. Aku
menyesal karena dulu aku pernah kuliah tetapi aku tidak pernah masuk dalam dunia
organisasi kampus. Sekarang semua nya sudah terlanjur”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar