Oleh: Nikodemus Niko
Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Universitas Padjajaran
Sumber: www.triptrus.com |
Program
transmigrasi yang dicanangkan pemerintah pusat dengan mendatangkan penduduk
dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan sudah berlangsung sejak lama; sejak masa
pemerintahan orde baru. Mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan,
pemerintah cukup berhasil menekan angka penduduk di pulau Jawa, salah satunya
dengan adanya program transmigrasi. Pulau Jawa memiliki tanah yang subur untuk
lahan pertanian, namun mengapa banyak rakyat pulau Jawa yang harus “diungsikan”
ke pulau Kalimantan? Merujuk pada Undang-undang nomor 3 Tahun 1972, bahwasannya
transmigrasi memiliki tujuan demografis, tujuan ekonomi dan pembangunan, serta
tujuan pertahanan keamanan.
Produk
riil bernama pembangunan itulah yang menggiring transmigrasi tetap eksis sampai
sekarang, sampai-sampai menawarkan tanah gratis bagi transmigran yang akan
menempati wilayah perbatasan RI-Malaysia di sepanjang pulau Kalimantan. Apakah
ini solusi baru dari pembangunan yang dilangsir oleh Kementrian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi? Dengan memberikan tanah gratis
seluas 0,25 hektar (2500 m2) sebagai lokasi tinggal dan 3 hektar
tanah untuk berkebun, per kepala keluarga. Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi,
Marwan Jafar mengatakan “baik lahan perkarangan maupun lahan usahanya berstatus
dan bersertifikat sebagai hak milik” (Detik News, 25/05/2015).
Lalu,
bagaimana nasib masyarakat lokal yang juga bermukin di wilayah perbatasan?
Apakah mereka juga mendapatkan tanah gratis dan lahan usaha gratis? Jawabannya
adalah “Tidak”. Boleh di hitung jumlah penduduk perbatasan yang memiliki
sertifikat tanah dan sertifikat usaha. Dalam hal ini hak mereka terabaikan,
dimana masyarakat lokal tidak mendapatkan perhatian khusus pemerintah; dimana kemiskinan
masih banyak terjadi. Pengembangan usaha dan segala macam fasilitas didapatkan
oleh transmigran semenjak meninggalkan kampung, sementara hal yang sama tidak
didapatkan oleh masyarakat lokal. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan semacam
kesenjangan (gap) sosial yang tajam
di antara masyarakat lokal dan para transmigran, kondisi seperti ini dapat
merupakan salah satu sumber dari apa yang disebut sebagai kecemburuan sosial
(Otto, et. al. 1991; Sugihen, 1997).
Sebagai
akibat dari kesenjangan sosial yang terjadi, potensi konflik muncul perlahan
namun pasti. Berkaca pada kasus transmigran eks-gafatar di Kalimantan Barat, gap antara masyarakat transmigran dengan
masyarakat lokal tercipta oleh lingkungan mereka sendiri. Dimana area
perkampungan eks-gafatar di beri portal agar masyarakat lokal tidak masuk,
hubungan sosio-kultural yang tidak harmonis tercipta di antara mereka. Sehingga
terjadi konflik horizontal yang sudah mengarah pada kekerasan budaya (cultural violence). Galtung memberi
definisi kepada kekerasan budaya: “kekerasan budaya adalah aspek-aspek dari
kebudayaan, ruang simbolis dari keberadaan masyarakat manusia—dicontohkan oleh
agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan formal (logis,
matematis)—yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan
struktural dan langsung” (Galtung, 1990; Susan, 2010) Pembelajaran penting bagi
program transmigrasi bahwa program ini sudah lama gagal namun tetap dipaksakan
keberlangsungannya.
Masyarakat
yang mendiami wilayah perbatasan di Kalimantan merupakan penduduk asli etnis
Dayak, mereka masih hidup dengan berkebun dan bertani; dalam hal ini hidup
mereka bergantung pada tanah dan alam. Sementara pada program transmigrasi yang
dirancang oleh pemerintah, mendorong para transmigran di sektor perkebunan;
dimana kelapa sawit menjadi komoditas utama yang ditanam di wilayah Kalimantan
Barat dan Kalimantan Timur. Apakah pemerintah tidak memikirkan dampak
berkepanjangan yang terjadi? Semisal saja, pembabatan hutan asli untuk
dijadikan wilayah perkebunan sawit. Apakah pembangunan semacam ini yang dikehendaki
pemerintah? Pembangunan yang tidak memperhatikan dampak ekologis serta dampak
sosiologis yang berkelanjutan.
Kebijakan
pemerintah sudah seharusnya memihak pada rakyat dan untuk kemakmuran rakyat,
dalam hal ini kebijakan pembagian tanah gratis untuk program transmigrasi
merupakan salah satu pengabaian hak-hak rakyat lokal yang sudah puluhan bahkan
ratusan tahun mendiami tanah di Kalimantan. Adakah hak mereka untuk tidak
menyerahkan “Tanah Kalimantan” kepada transmigran? Namun ketidakberdayaan
rakyat lokal adalah karena ini merupakan program pemerintah yang
mengatasnamakan negara, sehingga tanah yang ada adalah milik negara, oleh
karenanya rakyat lokal tidak berdaya di tanah mereka sendiri. Mengapa
pemerintah tidak memberi keleluasaan dan kemudahan kepada rakyat lokal untuk
mengurus dan mendapatkan sertifikat tanah? Mengapa pemerintah tidak menyerahkan
pengelolaan lahan yang ada kepada masyarakat lokal saja? Membina sumber daya
lokal baik SDA maupun SDM yang ada, kemudian dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat
lokal itu sendiri. Bukankah ini esensi pembangunan yang sebenarnya; dari rakyat
oleh rakyat dan untuk rakyat.
Hubungan
antara manusia (dalam hal ini masyarakat lokal—etnis Dayak) dengan tanah
leluhur mereka sangat erat, sehingga masih terbina ritual-ritual adat yang
digunakan apabila membuka lahan untuk bertani. Sistem pertanian yang
berlangsung selama ini pun masih sebagai way
of life, yang artinya adalah produksi usaha bertani digunakan hanya untuk
konsumsi sendiri dan keberlangsungan hidup, bukan untuk di jual. Tradisi,
budaya serta adat istiadat pada masyarakat lokal kemudian bergeser sebagai
akibat lingkungan yang terbatas. Sementara kehidupan mereka masih pada taraf
yang sama; miskin.
Kemudian
kehadiran transmigran tidak akan membawa perubahan apapun terhadap masyarakat
lokal yang miskin, selain mereka akan merasa termarjinal atau terpinggirkan,
tanah dan hutan yang mereka jaga serta mereka rawat bertahun-tahun dijadikan
lahan perkebunan sawit untuk para transmigran; tidak ada lagi hutan dan binatang
liar. Apa mungkin terdapat agenda politik yang terjadi antara investor dan
birokrat yang bersembunyi di balik program yang bernama transmigrasi itu? Di
satu sisi, ketika rakyat diam; mereka akan semakin tertindas dan tak berdaya,
namun di sisi lain, ketika rakyat berdemo untuk meminta keadilan, mereka
dituduh anti pembangunan. Bagai makan buah simalakama, bukan? Terpenjara dalam
derita pembangunan.
“Program transmigrasi hingga lima tahun ke depan
(2015-2019), difokuskan menjadi garda terdepan dalam mewujudkan desa-desa
mandiri dengan melakukan pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi”
begitu ujar Nawar Sanusi, Sekjen Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (JPNN, 06/10/2015). Perwujudan nyata program ini di
pulau Kalimantan sudah jelas-jelas menimbulkan konflik komunal yang bersifat
laten dalam masyarakat; lokal dan transmigran. Terjadi konflik etnis pada tahun
1998, dan terjadi konflik horizantal antar masyarakat Gafatar dengan masyarakat
lokal di sekitar area kampung transmigran. Lalu, pertanyaannya dimana letak
kesuksesan program ini dalam membangun peradaban manusia? Jika yang terjadi
justru malah sebaliknya; humanity crisis.
Marwan Jafar juga mengatakan bahwa pihaknya
(Kemendes) mempunyai target 40 juta orang transmigrasi untuk berpindah ke
wilayah perbatasan Kalimantan (Merdeka, 8/05/2015). Apakah kebijakan ini sudah
dipertimbangkan atas keinginan masyarakat setempat (Kalimantan)? Merujuk
program yang berdalih pada kesejahteraan rakyat ini, sudahkah pemerintah
memikirkan penyelesaian kemiskinan yang terjadi di sepanjang pedesaan di
wilayah Kalimantan? Problematika kemiskinan yang terjadi tidak akan dapat terselesaikan,
jika program transmigrasi terus menerus terjadi terhadap pengabaian hak-hak
rakyat lokal yang notabene-nya hidup di bawah garis kemiskinan. Bukankah konsep
pembangunan sendiri berpijak pada azas keadilan? Lalu, keadilan semacam apa
yang di terima masyarakat lokal; jika tanah dan sawah serta hutan mereka di
ambil alih oleh negara, kemudian di bangun dinasti perusahaan sawit bagi
masyarakat imigran.
Jelas cukong-cukong pembangunan bermain di balik agenda ini,
pelacur-pelacur pemerintahan bebas membubuhkan tanda tangan di atas kertas
putih bermaterai sebagai kontrak politik; antara kapitalis dan birokrat. Dan
lagi-lagi rakyat kecil terabaikan dalam penentuan kebijakan. Adilkah? Tentu
tidak, dan mereka yang menerima ketidakadilan tidak dapat berbuat apa-apa. Toh,
itu tanah milik negara (tidak ada sertifikat resmi) dan rakyat lokal bagai
turis di negeri sendiri, hanya sebagai penyewa sementara (bayar pajak tanah).
Sementara untuk membuat sertifikat tanah mereka tidak memiliki cukup uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar