Joko Widodo--Presiden Republik Indonesia Source: http://gumilang.me/1302/profil-dan-biodata-joko-widodo-atau-jokowi/ |
“Kabinet Kerja” pada masa kepemimpinan Jokowi telah membangun citra positif
bagi parlemen. Nawa Cita yang kemudian dibangun melalui elaborasi media massa,
menempatkan kepemimpinan Jokowi di puji puja berbagai kalangan; mulai dari kalangan
tukang sayur dan pemulung hingga kalangan elit. Pada prinsipnya, Nawa Cita
membangun visi “menghadirkan kembali negara” dalam berbagai persoalan di negeri
ini. Selain itu Nawa Cita juga membawa esensi “membangun dari pinggir”.
Permasalahan yang kemudian muncul yaitu, mengapa harus “menghadirkan
kembali negara,” apakah selama ini negara tidak pernah hadir dalam mengatasi
persoalan negeri? Menurut pandangan saya, tidak juga. Memang kehadiran negara
saat kekuasaan rezim orde baru terepresentasi dalam tubuh militer, dimana terdapat
hubungan yang tidak harmonis antara civil
society dengan military society.
Sejarah politik yang panjang untuk kemudian membangun era demokrasi dan
kebebasan informasi masa kini. Meski demikian, praktik KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme) sebagai warisan dari orde baru masih tetap langgeng hingga sekarang.
Pertanyaan kita bersama adalah sejauh mana negara hadir dalam mengatasi hal
ini?
Kehadiran negara kemudian terepresentasi dengan kehadiran lembaga KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi). Tetapi nepotisme dan kolusi bahkan korupsi
masih menjamur di berbagai lembaga pemerintahan. Perselisihan antar lembaga
negara; Polri-KPK, atau TNI-Polri, ditambah lagi oknum elit yang bermental
instan, yang menggunakan jalan pintas untuk on
stage. Hal ini sudah cukup untuk melunturkan kepercayaan rakyat terhadap
lembaga pemerintah; dalam artian lain bahwa negeri ini sudah mengalami krisis
kepercayaan.
Era Jokowi, hal yang sama juga masih terjadi. Sehingga Nawa Cita yang
dideskripsikan sebagai “menghadirkan kembali negara”, menurut saya terlalu
berlebihan. Apa yang terjadi? Arogansi aparat terhadap masyarakat sipil yang
baru-baru ini terjadi, sebagai akibat ketakutan munculnya paham dan kelompok
Kiri. Apakah ini sebagai bentuk penghadiran negara? Mengapa negara tidak hadir
dalam penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) di negeri sendiri? Negeri ini memiliki
sumber alam terbesar nomor delapan di dunia. Namun semua sudah di kuasai asing,
terbukti bendera Amerika, bendera Inggris, bendera Kanada, dan beberapa negara
lain, berkibar di titik-titik penguasaan alam Indonesia. Negeri ini sudah
dibawah kendali UN (United Nation), dan atau WTO (World Trade Organisation).
Mengerikan!
“Membangun dari pinggir” misi ini juga terbangun di era Jokowi. Tetapi yang
terjadi desentralisasi pembangunan masih terjadi. Pembabatan hutan di Kalimantan,
Sumatera, dan wilayah lain untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa
sawit, bahkan di legitimasi sebagai pembangunan. Kemudian yang terjadi adalah
lingkungan rusak, rakyat miskin masih berkutat dengan kemiskinannya. Esensi
pembangunannya untuk siapa? Dimana letak kehadiran negara dalam masalah ini?
Kemiskinan melanda begitu dahsyat di negeri ini, benih-benih etnosentrisme
mulai terbangun dengan adanya otonomi, dan negeri ini berada dalam lilitan
hutang luar negeri (cyrcle of debt).
Sementara anak-anak muda kita terbuai oleh arus modernisasi yang diciptakan
oleh negara-negara kapital. Negeri kita dalam bahaya, karam jika anak-anak muda
saling mengkotak-kotakkan diri. Pilihannya adalah larut atau hanyut? Jika masih
bisa berenang, mari kita berenang bersama-sama.
*Opini: Nikodemus Niko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar