By:
Nikodemus Niko
27 November 2014
Hari ini adalah hari dimana aku
sangat bangga mengenakan mahkota bertali emas ini. Yah, hari ini adalah hari
wisuda ku yang pertama kali aku rasakan seumur hidupku. Hari pertama kali aku
mengenakan mahkota yang sangat mahal, toga. Dan hari pertama pula untuk ayah
dan ibu menghadiri acara sakral ini.
4 tahun aku berjuang untuk bisa mendapatkan
sebuah toga ini, 4 tahun pula aku mengarungi kehidupan penuh suka dan duka di
Kota Pontianak. Aku tak dapat mengartikan kebahagiaan ini dalam sebuah kalimat
atau bahkan sepatah katapun. Ini bukan hanya menjadi kebahagiaan ku sendiri,
tetapi juga kebahagiaan bapak, ibu, dan juga semua keluarga ku. Kenapa? Karena
satu-satunya orang yang sekolah tinggi hingga sarjana adalah aku. Ini bukan
sebuah kesombongan, tapi ini adalah suatu keajaiban Tuhan yang pernah menjelma
dalam hidupku di 4 tahun yang lalu.
Mengingat segala kenangan indah
yang pernah aku lalui di bangku kuliah, saat pertama kali menginjakkan kaki ini
di Kota Pontianak. Pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidup, pernah
mencicipi pahitnya kehidupan kota, namun bukan suatu penghalang untuk aku bisa
meraih prestasi dan cita-cita. Semua aku lalui dengan penuh bahagia, dengan
senyuman indah.
Selama 4 tahun bunga itu menanti
hujan menyirami dan, bunga itu telah mekar hari ini, saat aku berdiri sempurna
mengenakan toga ini bersama orang-orang yang sangat aku cintai dalam hidupku.
Karena tanpa mereka, aku tiada artinya. Aku hanya sebuah bunga tanpa tangkai
yang bisa kapan saja tertiup angin. Tapi ayah, ibu, yang membuatku merasa sempurna.
Mereka yang selalu menjadi tangkai dalam ku mengarungi studi hingga aku menjadi
sarjana, hari ini. Mereka adalah yang terhebat dalam hidup ini. Terkadang sering
aku tidak mengikuti nasihat mereka, sering aku membantah omongan mereka,
padahal aku tahu kalau itu semua untuk kebaikan ku.
Kuliah dengan berjalan kaki
menuju kampus, aku lakoni setiap hari. Jarak antara rumah sederhana di
pinggiran sungai kapuas yang aku sewa dengan kampusku sekitar 45 menit
perjalanan. Sehingga tatkala aku tiba di kelas dalam kondisi basah kuyub
bermandikan keringat, bahkan aku sering terlambat sehingga di usir dosen dan
tidak boleh masuk kelas. Apa aku harus malu? Apa aku harus mengeluh? Tidak,
sama sekali tidak. Aku harus sadar siapa diriku, ayah dan ibuku bukan berasal
dari keluarga mampu. Yang terpenting adalah aku tetap semangat dalam mengejar
mimpi dan cita-citaku, cita-cita orang tua ku. Aku tak ingin mereka kecewa, aku
ingin mereka tersenyum bangga suatu saat nanti.
Pernah tersisa uang hanya seribu
rupiah dalam kantong. Tapi aku harus berbohong karena aku tidak ingin merepotkan
ayah dan ibu, aku juga mengerti di kampung ayah dan ibu juga pasti serba
kekurangan. Apalagi jika musim hujan, musim banjir, ayah dan ibu tidak dapat
bekerja di kebun karet. Aku juga harus mengerti semua keadaan itu. Berusaha
berhemat, bukan berarti menyiksa diri. Tapi lebih menyadari arti rupiah yang
tidak semua orang mudah mendapatkannya. Bercucuran keringat di bawah terik
sinar matahari, kehausan, kelaparan baru kami bisa mendapatkan rupiah dan itu
pun tidak banyak, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terkadang
juga kurang. Tapi tidak pernah ayah dan ibu mengeluh, tidak pernah ayah dan ibu
mencaci, memaki saat aku meminta dikirimkan uang.
Itulah alasan untuk aku tidak
pernah sedikitpun menyurutkan semangat untuk bisa berprestasi di kampus ataupun
di luar kampus. Bukan aku ingin mengumbar kesombongan, tapi aku hanya ingin
semua orang tau bahwa orang ‘miskin’ bukan berarti juga miskin ilmu. Aku bangga
pada sosok ayah yang selalu gigih dan selalu mengajariku arti kesederhanaan,
dan sosok ibu yang selalu menyadarkan ku arti kasih sayang. Dari merekalah aku
belajar untuk bisa menuai pencapaian ku saat ini. Pernah menjadi yang terbaik
dalam lomba tingkat nasional, dan pernah menjadi yang terbaik dalam lomba
tingkat provinsi kalimantan barat, serta menjadi mahasiswa berprestasi di
tingkat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2014 ini adalah pencapaian
yang manis. Aku percaya bahwa rencana Tuhan akan indah pada waktunya.
Ku pandangi ibu dengan mata yang
berbinar, entahlah apa yang dalam benaknya. Ia memelukku erah, hangat. Mungkin ia
sedang menangis, menitikkan air mata bangga melihatku mengenakan baju sarjana
kini. Ibu mengusap punggungku lembut, tapi aku tetap bisa merasakan
kelembutannya. Aku mengenal telapak tangannya yang kasar, pasti karena ibu
setiap hari bekerja keras monoreh pohon karet, untuk mendapatkan rupiah demi
sesuap nasi.
Begitu pula ayah, aku mengerti
makna senyumannya kala itu. Ayah pasti bangga, bahagia karena telah mampu
membawa ku terbang dari jurang kebodohan, mampu membawaku berlari dari lembah
yang tidak ku mengerti keberadaannya. Aku cium tangannya yang kasar itu, aku
merindukan pelukan tangan saat 15 tahun silam, saat aku masih kanak-kanak.
Kini, semua akan dimulai dari
awal lagi ayah, ibu. Inilah perjuangan aku yang sesungguhnya, aku tahu bahwa
aku adalah alasan dibalik senyum ayah dan ibu. Sekarang lihatlah, anakmu yang
engkau dulu engkau perjuangkan mati-matian untuk mendaftar beasiswa, kini mengenakan
topi bertali emas. Topi yang tidak ada di jual di kampung kita. Anakmu kini
sudah jadi seorang sarjana muda. Ini hadiah untuk ayah, untuk ibu.
Aku yakin kalian mendoakan ku
siang dan malam, aku yakin kalian tidak pernah nyenyak dalam tidup karena
memikirkan aku yang jauh dari pantauan mata kalian selama ini. Kalian berjuang
siang dan malam. Kalian membanting tulang di pagi buta, mengumpulkan rupiah demi
rupiah di hutan rimba. Percayalah, aku juga selalu mendoakan ayah dan ibu. Aku
mencintai ayah dan ibu, sampai kapanpun dan dimanapun aku berada.
Inilah aku, anak seorang petani
miskin dari pedalaman kalimantan, kini mencicipi rasa memakai toga itu. Topi yang
belum pernah aku mimpikan seumur hidupku. Ayahku seorang petani karet yang
penghasilannya hanya sekitar 15 ribu sehari, begitu juga ibuku monoreh pohon
karet bersama ayah. Penghasilan demikian, merupakan sebuah mimpi menggenggam
langit untuk dapat menyekolahkan anaknya hingga di bangku kuliah. Ayah dan ibu
tidak tamat sekolah dasar, sehingga mereka sangat gigih agar aku tidak bernasib
sama dengan mereka. Semua tidak terlepas dari program beasiswa Bidik Misi yang
digalakkan pada pemerintahan bapak Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga aku
sangat berterima kasih kepada pak SBY, salam hormat dari ayah dan ibu saya yang
sangat mengagumi sosok pak SBY. Ibu dan ayah saya menitipkan rasa terima kasih
yang terdalam untuk pak SBY.
Menuliskan goresan ini, mataku
terurai air mata bahagia, air mata bangga karena memiliki ayah dan ibu. Malaikat
terindah dalam hidupku. Toga kebanggan ini aku persembahkan untuk ayah dan ibu.
Terima kasih ayah, terima kasih ibu, kalian akan selalu menjadi yang terindah
dalam kehidupan ini.
My Graduation |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar