Oleh:
Nikodemus Niko
Mahasiswa
Sosiologi Untan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan
dua instrumen payung bagi produk jurnalistik, baik media cetak maupun
elektronik. Seiring perkembangan teknologi informasi, media massa juga turut
mengalami perkembangan yang pesat. Tak hanya media mainstream, media
sosial juga menjadi salah satu bentuk revolusi media informasi. Di abad
ke-21 ini salah satu ruang bisnis yang cukup menjanjikan adalah bisnis media
berbasis teknologi informasi. Sehingga ada tren, pengusaha dan politikus
memilih menjalin kerja sama yang saling menguntungkan bagi keduanya. Bahkan tak
jarang pengusaha terjun dalam dunia politik.
Pemilihan
Umum berlangsung sekitar satu bulanan lagi, Pileg dilangsungkan 9 April 2014,
sedangkan Pilpres dilangsungkan 9 Juli 2014. Suasana politik ini semakin terasa
dengan kampanye-kapanye yang sudah dimulai. Di seluruh sudut kota-kota di Indonesia,
khususnya di kota Pontianak, bendera partai politik dan nomor urut sebagai
peserta Pemilu telah bertebaran. Disamping itu, juga banyak Caleg dengan
fotonya terpampang di berbagai media, spanduk, disertai nomor urut Caleg yang
bersangkutan. Menjelang bulan April, sudah tentu akan semakin ramai, mengingat
banyaknya partai dan calon peserta Pemilu. Tidak ketinggalan, berbagai isu atau
substansi visi, misi, dan program peserta Pemilu sudah gencar diperkenalkan.
Peran pers, media massa, dalam hal ini memang sangatlah penting. Apakah akan
menjadi provokator konflik atau sebaliknya menjadi penjaga gawang suasana yang
aman dan damai.
Pemberitaan
pers tidak jarang dikritik sebagai kurang kondusif. Kurang cermat, sensasional
dan bahkan provokatif. Terkadang, juga dinilai sebagai alat untuk menyudutkan
kelompok lainnya. Sebagai media massa, pers merupakan cermin dari masyarakat
itu sendiri. Kalau masyarakatnya terbelah, sudah tentu pers-pun juga ikut
terbelah. Apalagi, kalau pelaku konflik itu dengan sengaja hendak menggunakan
pers. Akan sangat ideal, kalau pers bisa berperan sebagai sumber informasi yang
objektif. Tidak perlu berpihak, tetapi, memberi peluang rakyat untuk menentukan
pilihannya.
Peran
seperti itu, sesungguhnya tidak hanya tergantung pada insan pers. Untuk dapat
menyajikan informasi yang objektif dan lengkap, peran elit partai juga sangat
penting. Kalau mereka bersedia terbuka, memberi peluang pers melaksanakan
tugasnya dengan baik, maka informasi yang objektif dan lengkap itu akan dapat
diperoleh dengan mudah dan kemudian dapat disajikan apa adanya. Namun, pada
kenyataannya banyak media-massa yang hanya berpihak terhadap kekuatan tertentu
selama berlangsungnya pemilu sehingga berdampak luas atas kepentingan pembaca
pada umumnya. Pers cenderung mereduksi informasi demi kepentingan tertentu,
baik dalam bentuk adventorial maupun penyusunan beritanya. Pers melakukan
simplifikasi permasalahan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok yang berkepentingan
di dalam rangka pemilu ini. Keberadaan pers saat ini hampir-hampir tidak
berhubungan dengan “hak masyarakat untuk mengetahui”. Segalanya seolah hanya
karena ada kepentingan semata. Mari ciptakan insan pers yang objektif dalam
rangka ikut mensukseskan pemilu 2014 ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar