Sumber: http://nasional.news.viva.co.id |
Oleh: Nikodemus Niko
“Ibu senang kau berada
disana”, ujarnya melalui pesan teks di App.
Blacberry Massanger-ku.
Pesan itu membuatku
tersentak kaget, bagaimana tidak? Ia mengomentari foto yang kujadikan display picture—fotoku sedang berpose berada
di sebuah universitas termasyur di Indonesia. Iya, disanalah aku mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studi Master.
“Terima kasih, Bu.
Siapa dulu dong Ibu Gurunya!”, balasku sembari menyisipkan emoticon *smile* pada
akhir kalimatku.
“Ah, kamu. Ya tidak
lah, itu karena kamu yang hebat”, dia malah memujiku. Yah, begitu lah
sewajarnya seorang guru. Tidak mau mengakui bahwa siswanya hebat bukan lah
karenanya. Bahkan dia tak mengakui bahwa aku mengenal mengenal ilmu karenanya.
Guru. Begitulah
kebanyakan orang kenal namanya. Bagiku, seorang guru bukan saja mereka yang
berada di kelas dan mengajariku teori-teori yang tak jarang aku tak mengerti.
Namun guru lebih dari pada mereka yang memberikan arti sebuah
kehidupan—termasuk ayah dan ibu yang merupakan guru utama dalam hidupku.
Delapan
tahun silam—Agustus 2007
“Ibu belum pernah
membaca cerpen seperti ini sebelumnya”, begitu komentarnya tentang cerpen yang
kubuat untuk tugas harian mata pelajaran Bahasa Indonesia.
“Apa kamu anak tunggal?”
ia bertanya saat aku sudah terduduk.
“Iya, Bu. Saya anak
tunggal” aku menjawab seadanya, karena waktu itu aku memang belum memiliki
seorang adik, seperti sekarang.
“Ok. Cerpen mu bagus”
pujinya sekali lagi.
Dia adalah guru baru di
sekolahku. Seorang perempuan muda yang belum menikah. Ia baru saja menamatkan
pendidikannya di sebuah universitas ternama di Kalimantan Barat. Namun ia tak
disukai banyak anak-anak dikelasku—bagaimana tidak, setiap masuk kelas ia
selalu memeriksa satu per satu baju seragam kami, apakah sudah ‘masuk dalam’
atau belum. Jika belum, perut kami menjadi sasaran empuk pendaratan cubitannya.
“Bu Siska kok jahat
sih”, samar-samar aku mendengar percakapan beberapa temanku seusai mata
pelajaran.
Fransiska Kurniawati,
begitu lah nama lengkapnya saat ia pertama kali memperkenalkan diri di depan
kelas. Sehingga kami harus memanggilnya Ibu Siska. Kenapa tidak Ibu Kurnia
saja, atau Ibu Wati? Ah, entah lah. Nama memang memiliki keunikan tersendiri.
Berbeda dari guru
lainnya, ia memiliki tubuh kecil. Gaya sedikit centil dan suara yang lantang,
namun memiliki kelembutan tersendiri sehingga kami sangat mengerti ketika ia
sedang menjelaskan saat mata pelajaran. Tidak saja Bahasa Indonesia, namun ia
juga mengajar mata pelajaran Sosiologi—pelajaran kesukaanku.
Selain muda dan
enerjik, ia juga humble dan mudah
bergaul dengan siswa dan siswi-nya. Dia adalah guru pertama yang mengenalkan ku
pada “makalah”. Apa itu? Aku belum pernah tahu apa itu makalah, bahkan tak
pernah terpikir untuk bisa membuatnya. Tapi Ibu Siska membawa warna berbeda di
sekolahku. Aku bersekolah di SMA Wiyata Mandala Balai, aku sebut itu salah satu
sekolah ter-favorite di Kecamatan
Batang Tarang.
Aku
tidak mengerti, aku tidak tahu. Semua dari kami
berpikir demikian. Bahkan kami baru mengenal komputer dan Ms. Word pada saat duduk di bangku SMA, sehingga tak heran jika ada
yang benar-benar tidak mengerti mengoperasikan komputer, termasuk aku—yang
masih mengetik dengan kedua ujung telunjuk (kami menyebutnya mengetik sebelas
jari). Bagaimana kami bisa menyelesaikan sebuah makalah yang jumlah halamannya
belasan bahkan hingga puluhan itu. Semua mengeluh.
Tapi apa? Ibu Siska
tidak lelah untuk mengenalkan kami pada mahkluk
bernama makalah itu.
“Kalian akan diberi
tugas makalah yang sangat banyak, pada saat kalian kuliah nanti”, begitu kata
Ibu Siska.
Aduhai, bahkan aku
tidak pernah memikirkan bisa kuliah. Bisa duduk di bangku SMA ini saja sudah
mukjizat yang sangat luar biasa. Bahkan, aku sering menunggak uang sekolah
karena tidak punya uang untuk membayar. Bagaimana aku bisa memikirkan untuk
kuliah dengan kondisi ekonomi orang tuaku yang serba pas-pasan, bahkan kurang.
Kami diberi PR
mengerjakan makalah maksimal lima halaman. Susah, sangat susah. Aku tidak
memiliki komputer—semacam laptop gitu, atau warnet yang dekat dengan kampungku.
Jangan saja warnet, listrik saja tidak ada di kampungku. Tapi apakah aku
menyerah? Tidak, sama sekali tidak. Aku menggunakan tulis tangan, bukan huruf
cetak yang berasal dari mesin print.
Itu lah makalah pertamaku—makalah lima halaman portofolio dengan huruf tulis
tangan.
Saat tiba waktunya
tugas itu harus dikumpulkan ke tangan Ibu Siska, ia tidak mau menerima makalah
yang sudah aku buat selama tiga malam lamanya ku menuliskan. Tapi apa daya,
tidak ada istilah bagiku untuk melawan seorang guru. Aku disuruh untuk mengetik
dengan mesin komputer—harus, tidak ada kata tawar menawar. Sehingga aku mencuri
jam istirahatku untuk pergi ke warnet tidak jauh dari sekolahku (jika aku
ketahuan, sudah pasti aku di hukum oleh guru. Karena ke warnet pada saat jam
sekolah sangat di larang). Tapi aku melanggarnya, demi untuk makalah. Finally finish dengan hasil yang
memuaskan.
April
2013
Aku sempat tidak
percaya pada kehendak takdir yang membawaku pada tempat ini. Iya, tempat bernama
kampus yang tak pernah aku mimpikan dalam hidupku. Kini dua tahun sudah aku
berada di kampus ini. Kampus yang sama dengan Ibu Siska. Dan bahkan aku tidak
sempat untuk membayangkan dua tahun lalu, saat aku meraih beasiswa Bidik
Misi—beasiswa bagi anak yang tidak mampu namun berprestasi.
Namaku tercantum dalam
sebuah surat pengumunan yang aku terima lewat e-mail. Aku ingin katakan bahwa
anak kampung ini tak lagi gagap teknologi. Hehehe. Aku sudah bisa
mengoperasikan komputer, dan bahkan sudah bisa mengoperasikan internet. Iya,
disana tercantum namaku sebagai finalis lomba tingkat Nasional. Tidak hanya
sampai disana, tidak lama kemudian aku juga dinobatkan sebagai juara lomba di
tingkat provinsi—dua tahun berturut-turut.
Ibu Siska, aku yakin
pasti ia bangga padaku saat itu. Bukan kuingin menjadi yang ia banggakan, tapi
aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku bisa. Dan setidaknya ia yang pernah
mengenalkan makalah yang kini sangat aku sukai untuk menulisnya. Bukan hanya
makalah, tetapi tulisanku juga biasa menghiasi media masa seperti koran lokal
di Kalimantan barat.
***
Ibu Siska, ia yang
mengenalkan ku pada tulisan makalah, yang hingga saat ini masih aku tekuni, bukan
saja untuk tugas-tugas kuliah tapi juga untuk memenuhi syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana—yang familiar disebut
skripsi.
Bukan tentang apa yang
kudapat hari ini, tetapi tentang bagaimana proses aku mendapatkannya hingga
hari ini tiba, yang hingga pada masanya nanti akan membawaku pada belahan dunia
lain. Maksudku belahan bumi yang sangat jauh, hingga ke negeri Eropa yang
sangat termasyur itu. Terima kasih guru-ku, tiada ucapan pantas selain itu. Tetaplah
menjadi guru terbaik bagiku, bagi adik-adikku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar