By:
Nico
Lalu lalang kendaraan
di Jalan Imam Bonjol Pontianak pagi ini mengiringi langkahku menuju kampus.
Sebenarnya dosen pagi ini tidak masuk, makanya aku enggan mau ke kampus. Tetapi
karena tugas kuliah sebagai pengganti kuliah harus dikumpulkan pagi ini, terpaksa
aku harus datang ke kampus. Sepanjang perjalanan, kemacetan panjang memang
sudah menjadi konsumsi pengguna kendaraan di Kota Pontianak. Kebetulan hari ini
kuliahnya di Magister Ilmu Sosial sehingga jarak antara kost dengan kampus
tidak sampai lima menit.
Setiba di kampus aku
langsung menuju lobby kampus, disana teman-teman sekelas sudah duduk-duduk
santai. Aku yang sudah berkeringat langsung duduk.
“Tugasmu udah
dikumpulkan belum nik?” salah satu temanku bertanya.
“Ntar aja ah. Panas,
capek aku”.
Setelah berkipas-kipas
sejenak, aku menghampiri ketua kelas.
“Nih, tugas aku.”
“Oke deh niko.”
“Bapak ndak masuk kan?
Berarti abis ini pada boleh pulang dong?”
“Iya, hanya kumpulkan
tugasnya aja.”
Huh, lumayan nyebelin
sih kalau dosen gak masuk. Perjuangan kita nyampe ke kampus itu lho,
seolah-olah gak di anggap banget. sepertinya teman-temanku sudah pada pulang,
tetapi masih ada yang terlihat sedang mencuri mangga, dan aku harus ikutan
dengan mereka, dan adapula yang baru saja menulis tugas kuliah karena kelupaan
mengerjakan di rumah, dan alasan tidak tahu mengenai adanya tugas dari dosen.
Mungkin ini perjuangan mereka.
Ah, baru sampai
dikampus masa’ aku harus pulang awal. Kan capek! Aku masih termangu sendirian
di bawah pohon rindang di depan kampus. Tempat ini memang adem, tidak heran
jika tempat ini menjadi tempat nongkrong asik bagi anak muda. Tidak jauh dari
belakangku ada sepasang kekasih yang sedang berbincang asyik. Aku malas banget
kalau lihatin dua sejoli yang pacaran disiang bolong, hari jumat pula,
(heloooooo... ini kampus non, bukan tempat pacaran). Kemudian di samping kiri
ku, ada dua orang cewek yang sedang enak-enakan makan syomai (aku jadi
ngiler,hahaha... emang kampus aku tempat makan syomai, hadeh...)
Ditengah kesalku dari
kejauhan sana, aku melihat seorang kakek tua tengah mengayuh becaknya. Ia
kira-kira berumur 60-an tahun. Tepat didepanku duduk ia singgahkan becaknya. Ia
mengenakan baju putih yang yang kecoklatan karena sudah lama, celana putih yang
sudah usang dan kumal. Kacamata dan jenggotnya yang sudah memutih membuatnya
kelihatan tua dan tidak pantas untuk bekerja keras lagi. Ia menurunkan karung
goni kumal dari dalam becaknya kemudian diletakkan di bawah becak, serta
membenahi kardus-kardus yang sepertinya hasil ia memulung. Ia naikkan atap
becaknya dan kemudian ia berbaring diatas kardus-kardus itu. Ah, mungkin ia
kecapean. Yang terlihat hanyalah sapu lidi bak guling di samping kanannya, yang
mungkin ia gunakan untuk membersihkan sebagian jalan di kota ini, ah betapa ia
mulia. Menjulur sepasang kaki yang penuh urat timbul serta celana panjang yang
berjuntai beribu benang.
Kakek tua itu sudah
terlelap, entah apa yang kini ada dalam mimpinya. Becak yang juga sudah tampak
tua dan usang itu sepertinya adalah rumah baginya. Entah apa yang ada dalam
pikiranku, aku hanya ingin menangis. Kakek tua itu seperti terlantar, tidak
punya siapa-siapa, tidak ada yang merawatnya, hanya memiliki sebuah becak yang
selalu setia menemaninya dalam keadaan apapun, siang, malam, hujan, panas,
serta badai. Penuh perjuangan, ya inilah perjuangan sesungguhnya, perjuangan
hidup yang mungkin belum pernah aku rasakan selama ini. Betapa ia tabah. Bahagia
terpancar dalam lelap itu, terlihat seperti tidak ada beban, tidak ada
sedikitpun keluh terselip diwajahnya. Sedangkan cobaan kecil dalam hidupku
saja, aku sering mengeluh, aku sering lelah, menganggap Tuhan tak adil bahkan
aku putus asa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar