Awan berarak menyapaku
tanpa suara. Semilir angin pagi ini seolah berbisik mengucapkan “good morning” di kota tua Veliky
Novgorod. Pagi ini Verdinand benar-benar datang menemuiku, duduk di sampingku dan
tersenyum menatapku. Aku benar-benar tak berdaya melihat tatapan itu, tatapan
yang begitu hangat, penuh harap dan selalu memvonisku ingin terus bersamanya. Dari
taman Kremlin tampak berdiri kokoh Monumen Millennium of Russia, yang menjadi
saksi bisu kerinduan ku padanya. Aku sadar, aku sangat mencintainya, aku tidak
ingin kehilangannya.
Dedaunan berserakan tersapu angin,
menghanyutkan ku dalam pelukan Verdinand yang sungguh hangat ku rasa. Aku tidak
peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang. Sudah lama ku merindukan moment
seperti ini. Jarak yang memaksa kami harus terpisah, Verdinand tidak memiliki
waktu banyak bersamaku di Novgorod, dia adalah tentara militer yang bertugas di
Moskow.
Dear,
Maaf, belum sempatku membagi kebahagiaan,
Belum sempat ku membuat mu tersenyum,
Aku tak ingin kehilangan tuk kesekian kali,
Tuhan kumohon jangan lakukan itu,
Sebab ku sayang dia,
Sebabku tak rela tak selalu bersamanya,
Aku rapuh tanpa dia,
Seperti kehilangan harap,
Jikalau memang harus ku alami duka,
Kuatkan hati ini menerimanya.
Selembar surat dari Verdinand itu
selalu kubawa dan terus ku ingin membacanya.
“untuk apa kamu membaca surat ini,
sementara penulisnya ada di hadapanmu,” Verdinand menatapku lekat. Aku tidak sanggup menatap matanya lagi, air
mataku jatuh begitu deras menghujani wajahku. Aku tak berdaya, begitu lemas dan
Dia memelukku erat.
“Aku selalu merindukanmu Ver. Jangan
tinggalkan aku lagi”, lirihku.
“Aku juga merindukanmu, Flo. Aku
ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Verdinand kemudian mengecup keningku sebelum
tanganku digenggam erat olehnya.
Aku yang tak bisa banyak
berkata-kata hanya ikut kemanapun Verdinand pergi. Ia mengajakku ke Restauran
Tall Ship di tepi sungai Volkhov. Tempat dimana aku dan Verdinand pertama kali
bertemu, dan tempat pertama kali Verdinand menyatakan cintanya padaku.
Verdinand memilih tempat paling pojok. Ruang makan yang menyerupai ruang kemudi
kapal itu memiliki kenangan yang tak akan mungkin bisa aku lupakan.
“Aku punya kejutan buat kamu. Aku
keluar sebentar ya sayang.”
“Iya. Tapi jangan lama-lama,”
“Tenang aja sayang, aku pasti
kembali,” senyum Verdinand itu sungguh menghipnotisku untuk terus selalu
mencintainya.
“I love you,” aku berucap seolah
berbisik.
“Love you too, sayang.”
Lama aku menunggu Verdinand kembali.
Sudah dua jam dia berlalu. Kemana dia pergi? Kenapa dia belum kembali. Berjuta
pertanyaan timbul dalam benakku. Aku tak bisa tinggal berdiam diri saja disini.
Aku menyusul Verdinand, entah kemana aku harus mencarinya. Dari kejauhan aku
melihat kerumunan orang, entah apa yang sedang terjadi disana. Aku segera
menghampiri orang-orang itu. Kutemukan Verdinand terbaring disana.
“Ver! Apa yang terjadi? Ver! Kamu
kenapa ver?” Aku tak sanggup lagi menahan tangis.
Verdinand tertabrak mobil saat
membeli bunga untukku, dia terpental sangat jauh. Mawar merah yang ia bawa
berserakan bercampur dengan merahnya darah yang keluar dari kepalanya.
“Ver,
bangun. Dengar aku Ver, bangun.” Aku pegang erat tangannya. Perlahan Verdinand
membuka mata.
“Happy Anniversary, sayang.”
Verdinand mengucapkan itu padaku. Dia masih saja mengingat hari kami jadian dua
tahun lalu. Verdinand menghembus nafas terakhirnya dalam pelukanku.
“Ver! Bangun Ver.”
Bongkahan-bongkahan es membeku di
sepanjang jalan mengiringi perjalanan kisahku bersama Verdinand. Mengukir
kenangan yang tak akan pernah kulupakan dalam hidup. Aku sangat mencintainya.
Tapi kenapa Tuhan harus mengambilnya dariku? Sekarang aku harus menerima
kenyataan yang sangat pahit, kenyataan yang tidak pernah aku inginkan.
Aku ingin menemani Verdinand didalam tanah sana, menemaninya dalam kegelapan,
kesunyian, dan kedinginan.