Tulisan
ini tentang kemiskinan perempuan di wilayah perbatasan. Kemiskinan di Indonesia
sudah menjadi isu yang berkepanjangan, dimulai semenjak masa penjajahan
kolonial Belanda hingga masa teknologi modern kini. Penanganan berarti belum
terlihat berdampak pada pengurangan kemiskinan, baik di tingkat lokal maupun
tingkat nasional. Demikian pula di Kalimantan Barat yang merupakan wilayah
strategis persinggahan antar negara seperti Malaysia dan Brunei Darusalam.
Kemiskinan di Kalimantan Barat menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
mencapai 401,51 ribu orang yang hidup dibawah garis kemiskinan (BPS, 2014),
dimana jumlah kemiskinan lebih banyak dijumpai di wilayah pedesaan.
Isu
perempuan erat kaitannya dengan isu kemiskinan. Perempuan yang mendiami
wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia tidak lepas dari kondisi kehidupan yang
miskin dan serba terbatas. Tidak terkecuali kondisi kehidupan perempuan di
wilayah perbatasan negara yang merupakan masih pedesaan-pedesaan yang terpencil
dan terisolasi. Mereka hidup menyatu dengan alam dan menjadikan alam sebagai
sumber penghidupan.
Perempuan Dayak Benawan dan Pekerjaannya (Dokumentasi Pribadi) |
Pembangunan
di wilayah perbatasan selama ini pun, lebih menekankan kepada pembangunan
ekonomi dan kurang memperhatikan pembangunan manusianya. Sehingga masyarakat
lokal yang berada di kawasan perbatasan tetap menjadi penonton tidak terlibat
aktif dan representatif dalam proses implementasi pembangunan (Rahmaniah,
2014:74). Sebagai akibatnya masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan masih
tetap dalam keadaan miskin dan tetap terpinggirkan. Hal ini dikarenakan
pendidikan dan skill yang minim dimiliki masyarakat lokal.
Keterbatasan-keterbatasan
tidak hanya melulu persoalan ekonomi semata, melainkan terdapat persoalan yang
sudah multidimensional. Bahkan persoalan kemiskinan yang dihadapi perempuan di
perbatasan bukan hanya kemiskinan kultural dan struktural saja, tetapi juga
menyangkut kemiskinan multidimensi. Dalam konteks ini posisi perempuan sangat
rentan untuk mengalami kemiskinan multidimensi, dimana terdapat
indikator-indikator seperti; dimensi sosial, pendidikan, kesehatan dan standar
kualitas hidup.
Data
kemiskinan multidimensional di Kalimantan Barat pada tahun 2014 menunjukkan
bahwa sebanyak 2.060.569 orang berada pada garis kemiskinan, dari jumlah
keseluruhan penduduk sebanyak 4,40 juta orang. Hal ini berarti sebanyak 40,2%
penduduk di Kalimantan Barat masih hidup dibawah garis kemiskinan, dimana
sebaran penduduk miskin paling banyak di wilayah pedesaan, yaitu sebanyak
1.726.992 orang, selebihnya berada di wilayah perkotaan (Budiantoro, et.al., 2015).
Kemiskinan
merupakan suatu permasalahan pokok pada masyarakat perbatasan. Hal ini
merupakan sebagai akibat dari rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang
ada. Data monografi pemerintah Kecamatan Jagoi Babang mencatat bahwa sebanyak
1.537 KK (kepala keluarga) hidup di garis kemiskinan dari jumlah total 1.679 KK
di Jagoi Babang. Sebagai sebuah permasalahan sosial, kemiskinan tentu membawa
dampak yang lebih luas terlebih bagi perempuan di perbatasan. Tidak jarang
mereka mengalami eksploitasi di sektor domestik bahkan menjadi korban
perdagangan orang di Malaysia. Melihat kenyataan ini, penulis tertarik untuk
menelusuri lebih dalam tentang kehidupan perempuan di perbatasan yang sangat friendly dengan kemiskinan dan
eksploitasi.
Dalam
perkembangan masyarakat masa kini, isu kemiskinan tidak dapat terpisahkan dari
isu perempuan terutama perempuan yang hidup di wilayah pedesaan. Kemiskinan
merupakan alat penindasan utama atas ketidakberdayaan perempuan pedesaan.
Mereka memiliki pendidikan yang rendah, serta kemampuan bersaing yang sangat
terbatas. Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pun masih sangat terbatas
oleh dimensi-dimensi yang menindas mereka, seperti dimensi ekonomi, politik dan
budaya.
Ketika
suatu kemiskinan sudah dianggap sebuah budaya ‘miskin’ pada masyarakat
pedesaan, tidak terlihat lagi dimana ketimpangan dan ketidakadilan itu. Padahal
tampak jelas ketimpangan dan ketidakadilan itu menimpa hampir seluruh perempuan
yang hidup di pedesaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik adanya
pengelompokan disposisi yang berlainan dari kegiatan produksi atau kapitalisme
itu terdapat kekuasaan yang beroperasi melalui pengembangan prasangka kultural
yang dikembangkan oleh pihak luar. Dengan demikian budaya kemiskinan
diperkenalkan kepada seluruh anggota masyarakat tersebut, sehingga mereka tidak
menyadari terdapat sistem struktural yang dengan sengaja memiskinkan mereka.
Sebuah
keluarga miskin di pedesaan acapkali mampu hidup dengan keterbatasan, mereka
melakukan survive, baik dalam bentuk
uang maupun makanan seadanya. Perempuan-perempuan ikut menjadi tulang punggung
keluarga mereka. Namun pada umumnya sebuah keluarga yang jatuh pada lingkaran
kemiskinan sangat sulit untuk bangkit kembali, kecuali apabila memiliki
jaringan atau pun pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan mereka. Dan
kondisi ini tidak terlepas dari kondisi struktural yang selama ini membelenggu
mereka untuk tetap berada dalam garis kemiskinan. Sehingga perempuan-perempuan
ikut menanggung kemiskinan yang membelenggu keluarga mereka.
Salah
satu indikator penyumbang dampak kemiskinan pada perempuan pedesaan adalah
pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan suatu indikator penting untuk menjadi social modal bagi perempuan dalam upaya
mencapai taraf hidup yang lebih baik. Namun faktanya tingkat pendidikan
penduduk di perbatasan Jagoi masih dalam katogori rendah. Dampak dari rendahnya
pendidikan ini yaitu kurangnya pengetahuan serta skill mereka untuk dapat menciptakan suasana hidup yang lebih baik.
Kemiskinan
sudah mendarah daging dengan kehidupan perempuan di perbatasan, oleh karenanya
tidak jarang mereka mendapatkan perlakuan-perlakuan eksploitasi seperti menjadi
TKW ilegal, eksploitasi di sektor tenaga kerja, bahkan menjadi korban kekerasan
seksual. Negara masih belum hadir di tengah-tengah kehidupan mereka yang
notabene-nya masih terisolasi. Mengapa mereka seolah terkurung dan berkutat
dengan kemiskinan yang berkepanjangan? Tidak lain karena kondisi struktural
yang memiskinkan mereka, disamping itu posisi tawar perempuan desa yang tidak
memiliki pendidikan tinggi enggan dilirik untuk masuk dalam sektor politik.
Faktor pembangunan yang tidak berperspektif gender juga ikut menjadi penyumbang
penyebab kemiskinan perempuan di pedesaan.
Negeri
ini belum sejahtera, kemiskinan masih melilit kuat dalam setiap sendi kehidupan
masyarakat. Goodin (1999) mengungkapkan alasan-alasan mengapa suatu
pemerintahan memiliki sistem negara kesejahteraan: pertama, untuk mempromosikan
efisiensi ekonomi; kedua, untuk mengurangi kemiskinan; ketiga, mempromosikan
kesamaan sosial (social equality);
keempat, mempromosikan integritas sosial atau menghindari eksklusi sosial;
kelima, mempromosikan stabilitas sosial; dan keenam, mempromosikan otonomi atau
kemandirian individu (Kurniawan, 2015:61). Dalam hal ini penulis melihat bahwa
sistem kebijakan yang berbasis negara kesejahteraan (welfare state) masih belum dapat terpenuhi bagi penduduk pedesaan
di Indonesia, terutama mereka yang bermukim di wilayah perbatasan
Indonesia-Malaysia.
Daftar
Bacaan:
Budiantoro,
Setyo. et.al. 2014. Indeks Kemiskinan Multidimensi Indonesia
2012-2014. Jakarta: Prakarsa.
Kurniawan,
Luthfi J. 2015. Negara Kesejahteraan dan
Pelayanan Sosial. Malang: Intrans Publishing.
Rahmaniah,
Syarifah Ema. 2014. Model Pembangunan
Perbatasan Berbasis Kearifan Lokal. Pontianak: STAIN Press.
*Penulis: Nikodemus Niko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar