Sumber: http://nasional.news.viva.co.id |
Oleh: Nikodemus Niko
“Ibu senang kau berada
disana”, ujarnya melalui pesan teks di App.
Blacberry Massanger-ku.
Pesan itu membuatku
tersentak kaget, bagaimana tidak? Ia mengomentari foto yang kujadikan display picture—fotoku sedang berpose berada
di sebuah universitas termasyur di Indonesia. Iya, disanalah aku mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studi Master.
“Terima kasih, Bu.
Siapa dulu dong Ibu Gurunya!”, balasku sembari menyisipkan emoticon *smile* pada
akhir kalimatku.
“Ah, kamu. Ya tidak
lah, itu karena kamu yang hebat”, dia malah memujiku. Yah, begitu lah
sewajarnya seorang guru. Tidak mau mengakui bahwa siswanya hebat bukan lah
karenanya. Bahkan dia tak mengakui bahwa aku mengenal mengenal ilmu karenanya.
Guru. Begitulah
kebanyakan orang kenal namanya. Bagiku, seorang guru bukan saja mereka yang
berada di kelas dan mengajariku teori-teori yang tak jarang aku tak mengerti.
Namun guru lebih dari pada mereka yang memberikan arti sebuah
kehidupan—termasuk ayah dan ibu yang merupakan guru utama dalam hidupku.