Nikodemus Niko
Mahasiswa Master Sosiologi—Universitas Padjadjaran
Ide ini disampaikan pada FGD kerjasama
Pemkot Bandung, Pemkot Merauke dan Mata Garuda
Background
Pendekatan pembangunan daerah saat ini masih
terkesan bersifat top-down, sedikit
sekali implementasi pendekatan bottom-up.
Semboyan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” masih jauh panggang dari
api. Pada dasarnya masyarakat lokal memiliki kapasitas untuk berpartisipasi
aktif dalam proses pembangunan (participatory
development). Pendeketan sosio-kultural sudah seharusnya menempatkan
masyarakat miskin dan masyarakat lemah (petani kecil) sebagai subjek/pelaku
utama pembangunan. Pembangunan pertanian dalam rangka ketahanan pangan, masih
direduksi ke dalam konteks ekonomi; padahal bisa saja dalam konteks sosial dan
budaya.
Pemahaman akan nilai-nilai sosial dan budaya
masyarakat petani di pedesaan, dapat membantu kita untuk turut mengenal
bagaimana kehidupan mereka. Hal ini sebagai sarana membangun awareness kita terhadap kebutuhan petani
kecil dan miskin di pedesaan. Terlebih bagi kaum perempuan, yang masih tertindas
di tanah mereka sendiri. Sehingga dengan
adanya pemahaman ini, akan ada kebijakan yang berpihak kepada petani kecil dan
sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
Membangun
Etos Kerja Petani Berperspektif Gender
Pembangunan pertanian di pedesaan, sebagai langkah
konkret pemerintah dalam mengatasi kelangkaan pangan (krisis pangan) masih
terkesan mengesampingkan kaum perempuan. Pada pengamatan saya di wilayah desa
saya, kaum perempuan masih sedikit dilibatkan dalam pembangunan pertanian.
Contoh; dalam pembentukan Kelompok Tani yang diinisiasi oleh Pemda, masih
sangat sedikit melibatkan perempuan dalam kepengurusan Kelompok Tani. Aktivitas
bertani merupakan bagian yang menyatu dalam kehidupan masyarakat desa, terlebih
bagi kaum perempuan; mereka yang pandai merawat dan menjaga alam dengan
nilai-nilai tradisional daerah setempat. Diharapkan pembangunan pertanian dalam
rangka menginisiasi krisis pangan, peran perempuan penting untuk
diperhitungkan.
Langkah-langkah
Penerapan
Sosialisasi
Pertanian
Pada proses sosialisasi ini, masyarakat setempat
diharapkan lebih separuh dapat menghadiri pemaparan materi dari narasumber yang
berkompeten. Disamping kegiatan sosialisasi, diharapkan pada proses ini,
terjadi feedback dari masyarakat
lokal; teridentifikasi sumber daya lokal (di samping pangan utama; padi). Dari
assesment sumber daya lokal ini, dapat diidentifikasi program yang sesuai
kebutuhan masyarakat (bagi perempuan dan bagi laki-laki). Harapannya; proses
ini merupakan penyatuan ide antara pihak terkait dengan masyarakat bahwasannya
bertani untuk kebutuhan keluarga mereka. Dalam arti lain bahwa “mereka bertani
untuk mereka makan”.
Implementasi
Dasar Kebijakan
Output dari usulan ini adalah Kebijakan yang
berpihak kepada petani kecil. Implementasi dasarnya adalah pemberdayaan
masyarakat lokal. Dengan adanya identifikasi sumberdaya lokal selain padi
(misalnya; jagung, singkong, sayuran, dan lain-lain), diharapkan menghasilkan
program-program pemberdayaan yang relevan. Misalnya; pelatihan mengolah
singkong menjadi makanan tambahan, dan lain-lain.
Kontinuitas
Program-program yang ada diharapkan tidak hanya
bersifat temporer, tetapi berkelanjutan. Tentu, hal ini memerlukan manajemen
yang tepat dan sesuai; seperti adanya accounting, aktuating, dan evaluating.
Pihak-pihak
yang Terlibat
1.
Pemda
setempatà sebagai pemegang tanggung jawab kunci
2.
Kemedesa dan Transmigrasi—Dirjen
pembangunan daerah tertentuà sebagai fasilitator
3.
Bappenasà sebagai fasilitator
4.
Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak—Bidang pemberdayaan perempuanà sebagai fasilitator
5.
Kelompok
Petani (laki-laki dan perempuan) àSebagai sasaran pembangunan pertanian.
“Gali!
Bekerdja! Gali! Bekerdja! Dan kita adalah satu tanah air jang paling cantik di
dunia”
-Soekarno-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar