Nikodemus Niko
*Mahasiswa Sosiologi
Pascasarjana Universitas Padjajaran
Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160221_indonesia_un_prihatin_kebiri |
Olivia
(bukan nama sebenarnya) yang dipanggil Oli, gadis kampung yang melahirkan anak
lelaki pertamanya sekitar tiga minggu yang lalu. Saya mengetahui hal ini
setelah diberitahu oleh ayah saya di kampung. Oli adalah seorang anak dari
kampung pedalaman di Kalimantan Barat, yang kebetulan adalah satu kampung
dengan saya. Oli saat ini baru berumur 15 tahun, umur yang masih belia, dia
berhenti sekolah di bangku kelas VII SMP empat tahun lalu. Jadi, jika Oli masih
bersekolah saat ini, ia sudah duduk di bangku kelas X SMA. Namun sayang, nasib
baik tidak berpihak kepadanya. Jarak sekolah yang jauh dari kampung, membuatnya
enggan untuk pergi ke sekolah, apalagi dengan menggunakan sepeda. Jarak sekolah
SMP yang berada di kecamatan cukup jauh dari kampung, sekitar satu jam dengan
menggunakan sepeda.
Oli
bukan anak orang berada. Orang tua Oli bekerja sebagai petani biasa. Ketika
memutuskan untuk berhenti bersekolah Oli sempat meninggalkan kampung dan
bekerja di Kota Pontianak sebagai penjaga mini market. Dia adalah seorang
tamatan SD, mencari pekerjaan di kota sangat sulit. Setelah sekian lama ia
bekerja, dengan pengaruh dan pergaulan kota yang tidak terkontrol, sepulangnya
ia dari bekerja tahun lalu, membawanya ke dalam masalah besar, Oli hamil.
Kehamilannya
bahkan tidak diketahui oleh siapapun, setelah lima bulan baru ayah dan ibunya
mengatahui. Oli hamil tanpa seorang suami, bahkan hingga saat ia melahirkan.
Masyarakat di kampung pun tidak mengetahui perihal kehamilan Oli, lantaran ia
sangat jarang keluar rumah. Setelah kandungannya berumur tujuh bulan lebih,
petua-petua adat di kampung menjatuhkan hukuman adat karena Oli hamil diluar
pernikahan, dan tanpa seorang suami. Oli bukanlah satu-satunya anak perempuan
di kampung kami yang hamil tanpa suami. Sebelumnya terdapat kasus serupa yang
terjadi pada anak yang bahkan lebih muda dari Oli.
Cerita Oli merupakan satu diantara ribuan kisah anak
Indonesia lainnya yang mungkin saja berada di pegunungan Marauke, hingga
pesisir pantai Sabang. Pernikahan di usia dini, bahkan melahirkan di umur belia
merupakan kisah yang tidak dapat di pungkiri dari kehidupan sebagian anak
perempuan di Indonesia. Menurut Council
of Foreign Relations, Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di
dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak (Candraningrum, 2016).
Tidak terhitung jumlah angkanya, anak-anak usia belia yang sudah dipinang,
sudah hamil sebelum menikah, bahkan hamil tanpa ikatan pernikahan. Dan para
pemangku kebijakan masih berdiam diri tanpa adanya kekhawatiran yang berarti.
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Demikian posisi Oli, yang
merupakan korban, serta merta dijatuhkan hukuman adat di suku Dayak Mali. Hukum
adat yang dibebankan kepada seorang anak belia umur belasan tahun, rasanya
tidak bertuan. Bahkan dalam hukum pidana dan perdata pun, posisi seorang anak
diperhitungkan. Ketika seorang perempuan yang diketahui hamil diluar nikah,
maka ketua adat dan pemuka masyarakat suku Dayak Mali cepat mengambil tindakan
hukum (Niko, 2016). Posisi anak perempuan yang hamil di luar pernikahan resmi,
akan menjadi pergunjingan serta buah bibir masyarakat. Bukan saja di satu
kampung, namun dalam lingkup satu desa. Karena seluruh kampung akan di undang
dalam upacara adat, jadi secara otomatis satu desa mengetahui pasal kehamilan
Oli.
Puluhan, ratusan bahkan ribuan anak-anak perempuan di
daerah pedesaan Kalimantan menghadapi ancaman menikah di usia muda. Mulai dari
anak-anak perempuan yang berada di daerah perkotaan hingga anak-anak perempuan
yang berada di daerah terpencil pedesaan. Permasalahan ini seolah-olah tidak ada
solusinya. Disisi lain banyak lembaga yang memang menaruh perhatian khusus
terhadap anak dan perempuan, seperti Komnas Perempuan, Komnas Anak, KPAI,
bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun belum
ada usaha yang serius dan berarti untuk memutus mata rantai habit (selesai sekolah, nikah!) di
pedesaan yang seakan menjadi budaya lama. Tidak ada jalan lain; sekolahkan
anak-anak perempuan pedesaan. Mereka putus sekolah, kemudian menikah karena
tidak memiliki pilihan lain. Disisi lain karena memang kondisi keluarga mereka
yang tidak mampu (miskin), sehingga dengan menikah diharapkan dapat meringankan
beban keluarga mereka.
Decision maker juga dibutuhkan dalam menyelaraskan keinginan kita untuk
menghentikan pernikahan anak di usia dini. Undang-undang perkawinan yang
menyebutkan batas usia minimal anak perempuan 16 tahun untuk dapat menikah,
bahkan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih hanya sekedar peraturan
saja. Toh, pada kenyataannya masih banyak praktik pernikahan dini yang terjadi pada
anak perempuan di pedesaan, tanpa ada yang menggugat, bahkan dilanggengkan atas
nama budaya dan adat. Dan lagi masyarakat merasa tidak ada yang salah dengan
adanya anak perempuan yang menikah di usia muda. Bukankah ini merupakan bentuk
konstruksi budaya yang seharusnya tidak lazim? Dan harus dihentikan dengan
pendekatan budaya (soft) pula.
Disamping itu, sangat perlu penguatan akses dan informasi
bagi lembaga terkait, misalnya lembaga Dharma Wanita atau PKK. Akses yang
dimaksud adalah pemberian pemahaman oleh perempuan-perempuan yang memiliki
pendidikan (tinggi) kepada mereka di pedesaan yang notabene-nya banyak yang
tidak tamat di bangku sekolah dasar. Namun, pada praktiknya hal ini tidak
terjadi. Bahkan semacam terjadi sekat (strata) yang membedakan bahwa terdapat
organisasi bagi ibu-ibu pejabat dan lain sebagainya. Sehingga penguatan akses
pun non-sense terjadi pada perempuan bawah, yang mana anak-anak perempuan
mereka sangat rentan mengalami putus sekolah, menikah usia dini sampai hamil di
luar pernikahan resmi. Dan lagi situasi ini pula yang melanggengkan kemiskinan
yang mereka alami.
Keterbatasan akses yang kemudian menimbulkan banyak
komponen yang tidak terpenuhi. Misalkan saja hak atas pendidikan (the right to education) banyak
wilayah-wilayah terpencil yang belum terpenuhinya akses terhadap sekolah,
tenaga pengajar dan fasilitas penidikan formal dan non-formal yang memadai.
Demikian pula akses kesehatan yang baik, tidak mengejutkan jika masih banyak
kasus kematian ibu dan bayi di wilayah terpencil. Tidak terpenuhinya akses
terhadap fasilitas puskesmas atau rumah sakit, tenaga medis dan obat-obatan
termasuk pelayanan kesehatan, ditambah lagi harga obat-obatan yang relatif
mahal bagi ukuran masyarakat pedesaan. Anshor (2016) mengungkapkan bahwa isu
lain yang penting terkait perkawinan anak adalah ketiadaan kesempatan
pendidikan di sekolah bagi anak-anak yang sudah terlanjur menikah pada usia
anak dan hamil.
Dalam hal ini, negara merupakan satu-satunya lembaga yang
mempunyai kewajiban dan wewenang sepenuhnya untuk menjamin terselenggaranya
kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat tanpa adanya diskriminatif. Eksistensi
negara bukan dipandang dari anggota dewannya yang rajin berkunjung ke luar
negeri, bukan negara yang menghisap rakyatnya (predatory state) atau sarang terjadinya praktik korupsi yang
memiskinkan rakyat, namun lebih kepada negara eksis untuk kepentingan
rakyatnya. Tentu kesejahteraan inilah cita-cita rakyat, untuk hidup dan
menghidupi negara, dan menghilangkan ketidakadilan.
Bacaan:
Candraningrum, Dewi. 2016. Pernikahan Anak: Status Anak
Perempuan? Jurnal Perempuan. Vol. 21,
No. 1, Februari 2016. Hal. 4-8.
Niko, Nikodemus. 2016. Anak Perempuan Miskin Rentan
Dinikahkan: Studi Kasus Hukum Adat Dayak Mali Kalimantan Barat. Jurnal Perempuan. Vol. 21, No. 1,
Februari 2016. Hal. 83-95.
Anshor, Maria Ulfah. 2016. 2016. Kerentanan Anak
Perempuan dalam Pernikahan Anak. Jurnal
Perempuan. Vol. 21, No. 1, Februari 2016. Hal. 116-129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar