Anak Jalanan Jogja (sumber: instagram @diademravenclaw) |
Tidak
ada yang menjamin jika tinggal di kota akan hidup sejahtera. Saya teringat
perkataan teman-teman saya di kampung: “kamu sih enak tinggal di kota”. Tinggal
di kota tidak melulu enak tanpa adanya pekerjaan tetap yang mampu menjamin
kelangsungan hidup. Jika tidak, pekerjaan pintas merupakan godaan
menarik—mengamen, mengemis, bahkan mencopet demi isi kekosongan perut. Tulisan
ini merefleksikan pengamatan saya selama lima bulan tinggal di Kota Yogyakarta.
Siapa
sih yang tidak mengenal kota pelajar ini? Kota yang kaya akan budaya nan
sungguh indah ini. Saya adalah mahasiswa short
course di kota ini. Banyak cerita indah bahkan cerita tak indah pun saya
toreh disini. Namun bukan soal ‘cerita saya’ yang ingin saya ceritakan,
melainkan sisi lain kehidupan jalanan yang saya jumpai setiap saya muncul di
jalanan. Tulisan ini sebagai renungan "Hari Anak Nasional 2015", tanggal 23 Juli 2015.
Saya
tinggal di wilayah komplek kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Tidak jauh
dari kos-kosan saya selalu menjumpai seorang lelaki berambut lusuh dan
berpakaian kumal serta robek-robek. Setiap pagi saya hendak ke kampus, saya
selalu menemukannya masih tertidur di teras rumah warga. Juga seringkali saya
menemukannya masih tertidur pulas di trotoar jalan menuju kampusku. Apakah dia
tidak punya rumah dan keluarga atau dia seorang lelaki gila/ tidak waras? Tapi
apakah pemerintah daerah tidak tahu akan hal ini? Terus warga juga menutup mata
kah? Banyak pertanyaan yang melintas seketika. Ah, belum pernah kujumpai hal
semacam ini sebelumnya. Inilah realita, dimana tidak ada seorang pun yang dapat
menerka jalan hidupnya.
Setiap
jam istirahat, saya bersama teman-teman selalu makan di ‘Taman Kuliner’ di
samping kampusku. Setiap kali kami makan selalu dihampiri ‘tukang minta-minta’.
Iya mereka meminta belas kasihan, entah itu dengan cara ngamen atau dengan
memutarkan musik di tape recorder bahkan ada yang hanya menadahkan tangan saja.
Pun mereka dari berbagai kalangan ada yang dari kalangan kakek-nenek (lansia),
waria bahkan anak-anak. Belum makanan tiba dihadapan kami, sudah ada tiga atau
empat diantara mereka yang menghampiri—dengan orang yang berbeda. Baru saya
mengerti arti tulisan di warung-warung makan atau tempat fotocopy-an yang bertuliskan “NGAMEN GRATIS”, yang artinya pengamen
dan pengemis tidak akan dikasi uang. Ya, saya mengerti bahwa mereka mencari
sesuap nasi. Apakah ini ‘satu-satu’nya cara?
Mereka
yang dari kalangan lansia, tidakkah mereka memiliki keluarga yang
memperhatikan? Atau setidaknya mereka sekadar menyadari dan mengasihani diri
sendiri bahwa “mereka sudah tua dan cukuplah waktunya untuk bekerja”. Jika
mereka memang benar adanya tidak memiliki keluarga, tidak adakah panti sosial
pemerintah yang bersedia menampung mereka? Atau memang pihak mereka-nya yang
tidak mau berada di panti sosial? Jika dipaksa bekerja, kemudian sakit, kan
kasihan.
Kemudian
kalangan waria (wanita pria) yang selalu bikin perut sakit karena tertawa atas
ulah mereka. Bernyanyi dengan suara cempreng dan tak karuan, dan banyak aksi
kocak yang mereka tunjukkan untuk menarik perhatian banyak orang. Oke soal
penampilan, I no comment. Karena dia
memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri. Tapi ini soal mengganggu, tidak semua
orang senang atas ulah mereka yang terkadang sok imut dan dibuat-buat demi dikasi uang. Jika tidak dikasi mereka
terkadang pula semacam ‘menyumpah’, misalnya mereka mengatakan “pelit amat sih,
ntar rejekinya mampet lho”. Ibu-nya teman saya pernah dikatakan “ya ampun bu
hajah pelit amat sih, ntar kuburannya sempit lho”, lantaran mereka tidak dikasi
uang. Yang saya amati mereka datang untuk mengamen dengan menggunakan kendaraan
bermotor, jika sudah mampu memiliki motor lalu kenapa mereka mengamen? Untuk
menambah penghasilan kah? Atau untuk life
style mereka yang notabene-nya mengenakan bedak lipstik yang harganya cukup
mahal. Tidak adakah pemberdayaan dari pemerintah bagi mereka, seperti melatih soft skill untuk menjahit atau bekerja
di salon misalnya?
Andai
Malioboro Tanpa Pengemis dan Pengamen
Hal
ini semacam berharap mantan kembali dalam pelukan—ketidakmungkinan yang selalu
saya semogakan. Yah, lebih besar kemungkinan mengarah pada ketidakmungkinan.
Saya duduk santai sambil menikmati es teh dalam kantong yang baru saja saya
beli di kawasan Taman Pintar. Saya sedang menunggu teman saya yang sedang
mencari buku untuk dibeli. Karena kepala saya pusing lantaran naik Trans-Jogja
yang penuh desak-desakan, akhirnya saya memilih istirahat di sebuah bangku yang
letaknya berada tepat dibawah pohon beringin. Di jarak yang tidak terlalu jauh
saya memperhatikan seorang bapak-bapak dengan pakaian kumal, yang mengenakan
sepasang sandal tak kembar. Dia sedang membongkar-bongkar tong sampah, dalam
benak saya ‘dia pasti seorang pemulung’. Tapi dia tidak sedang mencari botol
minuman atau barang-barang bekas, melainkan memungut sisa-sisa makanan yang
masih dalam kemasan. Saya melihat dia menemukan setengah potong kue gorengan
yang masih dalam plastik transparan. Dan saya juga melihat ada setengah gelas
minuman berwarna merah jambu di tangannya. Lalu dia pergi meninggalkan tong
sampah itu. Tidak jauh dari tempatku duduk, ada sebuah bangku dan segelas air
minum kemasan yang masih hampir penuh dan lengkap dengan sedotannya. Dia
menghampiri dan mengambilnya, kemudian dia berlalu tanpa menoleh ke arahku
sedikit pun. Mungkin dia adalah seorang gelandangan, tidak memiliki apa
pun—bahkan keberanian untuk mengemis.
Realita
lain, saat saya masih terduduk manis di trotoar jalan di kawasan Malioboro. Tidak
lama kemudian seorang anak kecil (berumur sekitar 7 atau 8 tahun) menyodorkan
sebuah amplop kosong. Saya tidak mengerti artinya apa? Sehingga saya biarkan
amplop itu—tanpa menyentuhnya sama sekali, dan tidak lama kemudian anak kecil
itu mengambil amplop itu kembali. Ternyata setelah teman saya jelaskan, bahwa
mereka mengemis tidak secara langsung, mereka ingin uang-nya dimasukkan kedalam
amplop itu—canggih juga. Tapi kok anak-anak? Tidakkah mereka memiliki orang
tua? Tidakkah mereka sekolah? Ataukah mereka memang sengaja diperkerjakan?
Lalu, bagaimana tindakan pemerintah? Anak-anak seumuran mereka seharusnya
berada di sekolah, atau di rumah untuk belajar. Iya, memang ada himbauan yang
saya baca di jalan raya bahwa “tidak boleh memberi uang kepada anak-anak
jalanan, hal itu berarti sama saja menghambat tumbuh kembang mereka”. Lalu
langkah nyata-nya (selain hanya himbauan) seperti apa? Saya rasa sedikit orang
yang memperhatikan tulisan himbauan itu saat di jalan raya.
Mengapa
mereka masih tetap berada di jalanan? Suatu malam saat saya hendak pulang dari
kawasan Malioboro. Saya mencari taksi di seberang parkiran stasiun tugu. Cukup
lama saya menunggu taksi tidak ada yang lewat. Saya melihat sekelompok
anak-anak jalanan yang biasa ngamen dan ngemis sedang berada di sebuah mobil pick up. Apakah yang mereka lakukan
disana? Entahlah, saya tidak mungkin mengira-ngira. Banyak
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dijadikan kesimpulan.
*Nikodemus Niko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar