Oleh:
Nico
Mengawali rencana untuk
menjelajah negeri tetangga, Malaysia memang sudah lama aku rencanakan. Namun,
karena banyak keterbatasan aku belum juga menginjakkan kaki kesana. Sepertinya
nasib baik berpihak padaku, aku ditugaskan untuk mengumpulkan data penelitian
oleh dosenku. Ya, inilah saatnya untuk bisa lari dari suntuknya suasana di Kota
Pontianak. Sumpek, panas dan cukup macet juga sih pas jam pulang kantor. Tapi aku
bukan seorang pengedara, tapi aku seorang pejalan kaki sejati. So, aku terbebas dari situasi macet.
Subuh yang sangat cerah
menemaniku dalam perjalanan menuju kecamatan Seluas, salah satu kecamatan di
Kabupaten Bengkayang. Sangat jauh, berangkat dari Pontianak pukul 06.00 dan
tiba disana pukul 16.30. Sungguh perjalanan yang sangat mengesankan. Medan terjal,
miring dan pemandangan alam yang indah di kiri kanan jalan.
Tiba di terminal
Seluas, tidak ada satupun yang kukenal disini. Bagaimana aku bisa sampai ke
tempat tujuan? Iya, tujuan ku adalah desa Jagoi Babang yang letaknya
bersebelahan dengan Sarawak, Malaysia.
Bertanya pada kernet
bus. Yah, ada gunanya aku belajar sosiologi komunikasi di kampus. Kami diantar
ke tempat ojek. Disana sangat banyak tukang ojek nakal, yang pintar
memanfaatkan situasi. Mulanya kami di tawarkan Rp.50.000 untuk ojek sampai ke
Jagoi Babang, atau sampai ke Serikin Malaysia ojeknya RM25. What? Emang harga ringgit berapa
sekarang? Kurs maksudku! Memang disana berlaku dua mata uang, sehingga aku
harus berhati-hati dalam menyebutkan nominal uang. Bisa jadi 50 tanpa
menyebutkan ujungnya (rupiah atau ringgit).
Akhirnya Rp.30.000
untuk kami ngojek sampai tiba di
rumah kepala desa Jagoi. Akhirnya, bisa bernafas lega. Setiba disana, kami
mencari penginapan di sekitaran desa. Bertanya lagi dengan warga desa, dan
penginapan letaknya di ujung desa, tepatnya di Batas Indonesia-Malaysia.
Untungnya kami bertemu dengan alumni yang satu almamater dengan kami, sehingga
kami tidak harus menginap di penginapan mahal, tapi kami ditawarkan nginap di
mess kecamatan. Dengan senang hati kami menerima tawaran manis itu. Thanks to
bang Franky.
Malam berlalu, mungkin
tanpa mimpi. Aku lupa akan mimpi semalam, kelelahan seharian menempuh
perjalanan yang tak pendek. Keesokan harinya kami mulai turun lapangan untuk
mengumpulkan data yang dibutuhkan. Karena keesokan harinya kita berencana untuk
pulang ke Pontianak. Namun, karena beberapa data yang belum kita dapatkan
akhirnya kita memutuskan untuk menginap semalam lagi.
Pada hari terakhir, aku
diajak oleh bang Ferry untuk jalan-jalan ke daerah malaysia. Iya, bang Ferry
adalah salah seorang guru yang ditugaskan di SMPN 01 Jagoi Babang. Daerah
perbatasan yang sarat akan pembangunan, penuh dengan gudang-gudang. Disanalah
transaksi Indonesia-Malaysia yang berpotensi banyak barang illegal yang masuk.
Di semua warung, produk Malaysia jadi primadona di daerah perbatasan.
Berlomba untuk
mendapatkan ringgit Malaysia, iya itulah yang terjadi secara nyata disana.
Ringgit menjadi pujaan masyarakat disana. Lalu bagaimana dengan Rupiah? Disana
rupiah masih tetap digunakan, namun bila dibandingkan Ringgit lebih menjadi
incaran disana. Rupiah hanya menjadi alat transaksi resmi saja.
“Kalau ringgit ditukar dengan uang kita bisa jadi
banyak”, ujar Inem (bukan nama sebenarnya) salah satu warga di perbatasan.
Wajar saja sih bila
masyarakat perbatasan menggantungkan hidupnya pada Ringgit Malaysia, karena
sumber perdagangan utama ada di daerah Malaysia. Sedangkan masyarakat dari
perbatasan Indonesia hanya menjual hasil alam nya, kemudian di barter dengan
sembako dari Malaysia.
Cukup adil sih. Lalu
bagaimana peran pemerintah? Masa bodoh mungkin. Karena masyarakat di perbatasan
juga masa bodoh, emang mereka hidup dari belas kasihan pemerintah? Tidak,
mereka bekerja dan bekerja untuk mendapatkan ringgit. Untuk makan, untuk hidup,
bukan rupiah.