BAB I
GAMBARAN UMUM
MATA KULIAH
Istilah
sosiologi dicuatkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri
disiplin ilmu ini. Secara sederhana sosiologi berarti studi mengenai
masyarakat, tetapi dalam prakteknya sosiologi berarti studi mengenai masyarakat
dipandang dari satu segi tertentu. Apa yang menjadi pusat perhatian sosiologi
adalah tingkah laku manusia, baik yang individual maupun yang kolektif, namun
lebih banyak segi kolektifnya dan relasinya dengan masyarakat. Dengan demikian
sosiologi merupakan studi mengenai tingkah laku manusia dalam konteks sosial.
Jika
sosiologi itu terutama memperhatikan tingkah laku manusia dalam konteks
masyarakat dan dalam hal ini mencakup segala-galanya, maka jelaslah politik itu
hanya memperhatikan beberapa aspek saja dari masyarakat. Tidak terlalu sulit
untuk mengenal aspek-aspek masyarakat yang menjadi pusat perhatian studi
politik, khususnya lembaga-lembaga sosial seperti badan legislatif dan eksekutif, partai
politik dan kelompok-kelompok kepentingan, dan beberapa bidang khusus dari
mental serta tingkah laku manusia, seperti proses pemilihan legislatif.
Pada
banyak segi akan merupakan bantuan bagi kita untuk menganggap kekuasaan sebagai
titik sentral dari studi politik. Jika secara rasional orang menganggap ilmu
pengetahuan politik itu sebagai bagian integral dari sosiologi, namun secara
akademis ilmu tersebut telah berkembang sebagai satu disiplin ilmu yang
terpisah. Dalam bidang sosiologi politik ini ada dua tokoh yang sangat menonjol
yaitu, Karl Marx (1818-1883) dan Max Weber (1864-1920).
Sosiologi
politik adalah subject area (bidang subjek) beberapa orang lain menamakan nya
sebagai disiplin yang mempelajari mata rantai antara politik dan masyarakat,
antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara
tingkah laku sosial dengan tingkah laku politik. Dengan berbuat demikian, kita
melihat sosiologi politik sebagai jembatan teoritis dan jembatan metodologis
antara sosiologi dan ilmu pengetahuan politik.
Kedua bapak pendiri sosiologi politik, Marx dan Weber,
yakin bahwa mereka telah mempraktekkan satu ilmu sosial yang bebas nilai. Sejak
itu ukuran standar dianut oleh para penganjur pendekatan behavioral (tingkah
laku) untuk studi mengenai fenomena sosial. Akan tetapi, kritik-kritik nya
belum terjawab secara efektif, dan masalahnya lebih diketahui daripada
diabaikan.
BAB II
KONSEP-KONSEP
UTAMA DALAM SOSIOLOGI POLITIK
2.1
Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik merupakan suatu
proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang, dan bagaimana
orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap
gejala-gejala politik. Sosialisasi politik ditentukan oleh lingkunga sosial,
ekonomi dan kebudayaan dimana individu berada, selain itu juga ditentukan oleh
interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya. Dengan kata lain
sosialisasi politik dalah proses, oleh pengaruh mana seorang individu bisa
mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya
mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik.
Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkungan kultural,
lingkungan politik, dan lingkungan sosial dari masyarakat individu yang
berssangkutan, juga mempelajari sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap
politik. Maka sosialisasi politik itu merupakan mata rantai paling penting di
antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik, namun satu sistem
bisa berbeda dengan sistem lainnya. Dilihat dari satu segi pandangan politik
tertentu, sosialisasi politik adalah luar biasa pentingnya sebagai proses,
dengan mana individu-individu, sampai pada kadar yang berbeda, bisa terlibat
dalam satu sistem politik, yaitu dalam partisipasi politik.
2.2
Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah
keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem
politik. Aktivitas politik itu bisa bergerak dari ketidakterlibatan sampai
dengan aktivitas jabatan nya. Oleh karena partisipasi politik itu berbeda-beda
pada satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, juga bisa bervariasi di dalam
masyarakat-masyarakat khusus, maka pentinglah bagi kita untuk mempelajari
konsep-konsep mengenai apathi politik dan alienasi, serta peranan mereka dalam ketidakterlibatan
dan keterlibatan mereka yang terbatas. Juga penting untuk ditegaskan bahwa
partisipasi itu juga bisa menumbuhkan motivasi untuk meningkatkan
partisipasinya, temasuk di dalamnya tingkatan paling atas dari partisipasi
dalam bentuk pengadaan bermacam-macam tipe jabatan, dan tercakup di dalamnya
proses pengrekrutan politik.
2.3 Pengrekrutan Politik
pengrekrutan politik ialah proses dengan mana
individu-individu menjamin atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu
jabatan. Pengrekrutan ini merupakan proses dua-arah, dan sifatnya bisa formal
maupun tidak formal. Merupakan proses dua-arah, karena individu-individunya
mungkin mampu mendapatkan kesempatan, atau mungkin didekati oleh orang lain dan
kemudian bisa menjabat posisi-posisi tertentu. Dengan cara yang sama,
pengrekrutan itu bisa disebut formal, kalau para individu direkrut dengan
terbuka melalui cara institusional berupa seleksi ataupun pemilihan. Dan
disebut sebagai informal apabila para individunya direkrut prive (sendirian)
tanpa melalui atau sedikit melalui cara institusional. Peristiwa sedemikian
juga mencakup beberapa pertimbangan apakah mereka yang mengendalikan jabatan
tadi bisa dengan tegas merupakan kelompok politik tertentu atau merupakan
kelompok elit.
2.4
Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah proses di mana informasi
politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian
lainnya, dan di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.
Kejeadian tersebut merupakan proses yang berkesinambungan, melibatkan pula
pertukaran informasi di antara individu-individu dengan dengan
kelompok-kelompoknya pada semua tingkat masyarakat. Komunikasi politik itu
memainkan peranan yang penting sekali di dalam sistem politik, komunikasi
politik ini menentukan elemen dinamis, dan menjadi bagian penentu dari
sosialisasi politik, partisipasi politik, dan pengrekrutan politik.
BAB III
PENDEKATAN STRUKTURAL FUNGSIONAL (GABRIEL A. ALMOND)
2.1
Perkembangan Pendekatan Struktural Fungsional
Pada
tahun 1956, tiga tahun setelah David Easton meluncurkankaryanya
The Political System (1953), Gabriel A. Almond menerapkan teori sistem tersebut
atas sistem politik suatu bangsa sebagai bentuk metode trial and error
layaknya sebuah teori. Namun,Almond melakukan sejumlah modifikasi atas teori
Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory, maka Almond membangun suatu
middle-range theory. Secara umum, teori sistem yang dibangun Almond terdiri atas 2 tahap, yaitu:
Tahap 1 : Gabriel A. Almond dalam Comparative Political
Systems (1956). Tipologi sistem politik Almond pertama kali ia
ajukan pada tahun 1956. Perhatiannya pada tiga asumsi :
1. Sistem menandai totalitas interaksi di antara
unit-unitnya serta keseimbangan di dalam sistem selalu berubah.
2. Hal penting dalam sistem politik bukan
semata-mata lembaga formal, melainkan juga struktur informal serta peran yang di jalankannya.
3. Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam
sistem politik, di mana budaya inilah yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain.
Tahap 2 : Gabriel A. Almond dan James Coleman dalam The
Politics of Developing Areas(1960). Dalam tahap 2 ini
Almond berusaha menghindarkan keterjebakan analisa system politik dari kontitusi/lembaga politik formal
menjadi ke arah struktur serta fungsi yang di jalankan masing-masing unit dalam sistem politik.
Fungsi
menggantikan konsep power, sementara struktur menggantikan konsep lembaga politik formal. Dalam tahap 2 ini pula Almond menandaskan bahwa
sistem politik memiliki 4 karakteristik yang bersifat universal. Karakteristik ini dapat
berlaku di negara manapun. Keempat karakteristik tersebut adalah :
1. All political systems have political structures
(setiap sistem politik punya struktur-struktur
politik)
2. The same functions are performed in all
political systems (fungsi-fungsi yang sama dapat ditemui di setiap sistem politik)
3. All political structure ... is
multi-functional. (setiap struktur politik ... bersifat multi fungsi)
4. All political systems are mixed in the cultural
sense (setiap sistem politik telah bercampur dengan
budaya politik masing-masing)
Setelah
mengajukan keempat asumsi dasar, Almond memodifikasi input serta output yang di maksudkan David Easton. Rincian Almond ini menjelaskan
fungsi-fungsi input serta output Easton yang cukup abstrak tersebut. Bagi Almond, secara fungsional
setiap sistem politik memiliki fungsi-fungsi input serta output, yang
rinciannya sebagai berikut :
Fungsi Input terdiri atas: Sosialisasi dan rekrutmen politik, Artikulasi kepentingan, Agregasi (pengelompokan) kepentingan, Komunikasi politik.
Fungsi
output terdiri atas: Pembuatan peraturan, Penerapan peraturan, Pengawasan peraturan, Sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi rekrutmen individu dari
aneka kelas masyarakat, etnik, kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke dalam partai politik,
birokrasi, dan sebagainya. Artikulasi kepentingan merupakan ekspresi kepentingan politik dan
tuntutan untuk melakukan tindakan. Pengelompokan kepentingan merupakan penyatuan tuntutan
dan dukungan dari masyarakat yang di artikulasikan oleh partai politik, kelompok kepentingan, dan
entitas politik lainnya. Komunikasi politik melayani proses komunikasi di
antara seluruh entitas politik yang berkepentingan oleh sebab baik sosialisasi dan rekrutmen politik,
artikulasi kepentingan, dan agregasi kepentingan semua disuarakan melalui proses komunikasi
politik.
Dalam karya berikutnya, Almond telah memberikan perhatian pada
perkembangan terakhir dalam bidang analisa system, terutama di bawah pengaruh
Easton, dan dalam beberapa hal memperluas skemanya sendiri untuk
mengakomodasikan proses adaptasi dan perubahan. Di sini ia memasukkan persoalan
kemampuan (capability), yang menjabarkan
hal-hal di mana suatu system dapat mengatasi masukan-masukan dengan gemilang.
Segala sesuatu yang masuk ke dalam system tidak selalu
mendukung. Tuntutan, yang selalu dijelaskan Easton dapat merupakan tantangan
bagi sistem, dan suatu system harus
memiliki elemen dan mekanisme yang perlu untuk menghadapinya agar dapat survive.
Kemampuan system digambarkan sebagai: (i) menyerap (sumber-sumber), (ii) mengatur (atas individu
dan kelompok), dan (iii) membagi (barang dan pelayanan). Disamping hal ini,
system itu juga harus mampu berkembang dan memelihara simbol–simbol yang meningkatkan daya
tarik atau kesetian pada dirinya sendiri dan secara memadai menanggapi
tuntutan-tuntutan yang di ajukan padanya baik dari lingkungan domestik maupun internasional.
Tantangan pada kemampuan system politik dapat datang dari:
(1) dalam system politik itu sendiri yaitu
dari para elit, (2) lingkungan, yaitu
dari kelompok-kelompok sosial,atau
(3) system politik lain.
2.2 Kelemahan Pendekatan
Fungsional Struktural (Gabriel A. Almond)
Fungsionalisme struktural
seperti yang di pakai Almond, menderita kelemahan karena kesulitan-kesulitan
untuk analisis dari satu disiplin ilmu dan
menerapkannya pada disiplin ilmu lain.
Konsep-konsep yang di pakai pada suatu tingkat abstraksi dalam satu disiplin dan dalam konteks
khusus akan tercampakan jika ditransplansikan pada disiplin yang lain. Almond
telah meminjam hampir
seluruh peristilahan dalam pendekatannya dari Talcott Parsons, tetapi tidak
memakainya dengan cara yang sama. Sementara
fungsi, tanpa mengacu pada system dimana
fungsi-fungsi mempunyai arti. Menurut Almond, suatu system merupakan
serangkaian interaksi, tetapi dia tidak berupaya untuk definisikan apakah sebenarnya arti “sistem’ atau apakah
konotasi penuh dari “interaksi” itu. Kedua, definisinya
tentang system politik tidaklah begitu jelas. Dia telah mendefinisikan sistem politik sebagai
“system interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat merdeka yang menjalankan
fungsi-fumgsi integrasi dan adaptasi (baik secara internal maupun dalam
hubungan dengan masyarakat lain) dengan alat-alat atau ancaman paksaan fisik
yang kurang lebih absah”, atau
bagai mana mereka terhubungkan, dan apa peran wilayah dalam memandang masyarakat tersebut. Sepertinya definisi tentang suatu system meskipun lengkap, independen
dan memiliki batas yang memisahkan dari system lain mengabaikan sejumlah
persoalan lain yang terealisasikan dengan pendekatan
system. Ketiga, ketika kita sampai pada
kenyataan tentang ciri-ciri suatu sistem politik kita mendapati bahwa semuanya
merupakan ciri-ciri system politik Barat, terutama Amerika. Tidaklah jelas
bagaimana atas dasar ciri-ciri yang terdapat pada suatu jenis masyarakat yang
disebut Barat dapat didefinisikan. Keempat, daftar tujuh variavel kategori
fungsi juga mempunyai kelemahan-kelemahannya. Diantara berbagai kelompok
kepentingan yang disebutkan, akan menjadi sulit untuk menarik suatu batas
antara yang politik dan bukan politik. Tidaklah
jelas mengapa agregasi kepentingan merupakan pekerjaan khusus partai-partai
politik dan bukan organisasi lain. Dengan
menekankan pentingnya komunikasi, Almond belum menjelaskan apa yang dia
maksudkan dengan komunikasi yang bebas antara masyarakat dan Negara. Terakhir,
Almond tidak menekankan pentingnya fingsi keluaran, dan telah gagal untuk
menekankan pentingnya proses umpan-balik dalam memperburuk, atau mengurangi
tantangan-tantangan pada eksistensi atau bahkan kelangsungan hidup system
politik.
Jadi kelemahan Almond adalah sama dengan para fungsionalis lain,
baik para sosiolog maupun ilmuwan politiknya. Dia tidak hanya bermaksud untuk
mengembangkan suatu teori tentang politik tetapi juga percaya bahwa teori yang
telah dikembangkannya “menspesifikasikan elemen-elemen masyarakat politik dalam
bentuk seperti itu sehingga pada akhirnya memungkinkan perumusan statistic dan
mungkin matematis”. Seperti yang dijelaskan Meehan, apa yang telah dihasilkan
Almond adalah ”suatu
skema klasifikasi, atau barang kali suatu model yang sangat tak sempurna dan
kabur yang
dapat digunakan untuk menata data politik dan membuat standar pengamatan gejala
politik” yang terbaik . Meehan juga berfikir bahwa kategori-ketegori fungsional
yang disarankannya, bagaimanapun kritisnya sebagai variable-variabel yang mungkin
terdapat dalam politik, terlalu luas untuk digunakan. Hasilnya adalah bahwa
fungsionalisme Almond tetaplah “fungsional dalam namanya saja”. “Dia tidak
menghasilkan suatu teori, juga bahkan tidak menghasilkan skema klasifikasi yang
dikemukakan dengan baik. Sistem
klasifikasinya tidak lengkap dan mendua”. Seseorang juga dapat menentang
pendekatan komparatif yang paling
mendasar dari teori yang dikembangkan Almond. Dalam menggunakan pendekatan
tersebut seseorang harus secara jelas memperhatikan upaya perbandingan.
Kemudian, akan menuju ke mana perbandingan
politik Almond ini? Mungkin, dengan bantuan pendekatan ini, untuk
menggambarkan berbagai system politik, dan bahkan menyusun tingkatannya, meski
tanpa adanya upaya yang
diharapkan akan diisi system politik,
penyusunan tingkatan ini tidak saja sia-sia tapi dapat menyesatkan. Bila kita
teruskan tugas-tugas analisa politik yang lebih penting, yang dinamakan
penjelasan dan evaluasi, kita mendapatkan bahwa hal tersebut tidaklah dilakukan
dengan baik oleh pendekatan komparatif. Suatu gejala dapat dijelaskan dengan
begitu baik dalam konteks kemunculannya. Kecenderungan untuk membandingkan
system politik di “Negara sedang berkembang“
dengan system politik di Negara “maju“,
pada kelemahan-kelemahan konstan dari Negara maju, yang dikembangkan
Almond pada tahun 1960 dalam bukunya Politics of Developing Areas telah membantu
dalam ilmu politik, dan yang dalam modelnya pada tahun 1966 dalam bukunya
Comparative Politics ; A Developmental Approach tidaklah begitu berhasil dalam
memperbaiki dan telah membawa banyak ilmuan politik pada studi perkembangan
politik memahaminya dari sudut yang keliru.
Di level
fungsi output, proses yang berlangsung adalah dalam konteks pemisahan kekuasaan
trias politika menurut Montesquieu, Pembuatan peraturan dilakukan oleh lembaga legislatif, pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga
eksekutif, sementara pengawasan dilakukan oleh lembaga yudikatif. Penjelasan mengenai entitas politik yang
melakukan seluruh proses di fungsi input adalah sebagai berikut: Menurut Ronald H. Chilcote, pandangan Almond mengenai sistem politik
bercorak dualistik. Artinya, Almond selalu menganggap ada dua bentuk yang bertolak
belakang dari sebuah sistem politik misalnya tradisional vs. modern, agraris vs. industri,
maju dan terbelakang, dan sejenisnya. Almond menganggap bahwa sistem politik yang belum
berkembang ditandai oleh gaya pembagian kerja yang bercorak tradisional, bersifat
partikularistik, afektif, dan turun-temurun, sementara system politik yang sudah maju ditandai oleh
spesifikasi kerja yang rasional, universalis, netral afektif, dan bersifat prestasi atau pencapaian
(achievement). Setelah merevisi teori sistem politik dari David Easton, Almond
meringkas pola pikir system politiknya ke dalam skema berikut : Melalui skema di atas, Almond membagi ada 3
level dalam sistem politik. Level pertama terdiri atas 6 fungsi konversi yaitu : artikulasi
kepentingan, agregasi kepentingan, komunikasi politik, pembuatan peraturan, pelaksanaan peraturan, dan pengawasan
peraturan. Fungsi-fungsi ini berhubungan dengan tuntutan dan dukungan pada input serta keputusan dan tindakan
pada output.
Level
kedua dari aktivitas sistem politik teletak pada fungsi-fungsi kemampuan, yaitu
regulasi, ekstraksi, distribusi, simbolik, dan respon. Almond menyebutkan
bahwa di negara-negara demokratis,
output dari kemampuan regulasi, ekstaksi, dan distribusi lebih dipengaruhi oleh tuntutan
dari kelompok-kelompok sehingga masyarakat demokratis memiliki kemampuan responsif
yang lebih tinggi. Sementara itu pada sistem totaliter, output kurang responsif
pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan, seraya lebih
mengekstraksi secara maksimal sumber
daya dari masyarakat nya.
Sementara itu, yang dimaksud Almond dengan kemampuan simbolik
adalah kemampuan suatu sistem politik untuk menonjolkan diri di lingkungan internasional. Teori
sistem politik Gabriel A. Almond ini kiranya
lebih memperjelas maksud dari David Easton dalam menjelaskan kinerja suatu sistem politik.
Melalui Gabriel A. Almond, pendekatan struktural fungsional mulai mendapat
tempat didalam analisis kehidupan politik
suatu negara.
BAB IV
BUDAYA KAMPANYE DALAM PERSIAPAN
PEMILU GUBERNUR 2012
DI KALIMANTAN BARAT
3.1 Pemilu Lokal
Pilkada merupakan sejarah
penting dalam politik indonesia. Maka dari itu, sepantasnya lah ia
didokumentasikan secara baik agar generasi mendatang dapat memungut serpihan-serpihan
pemikiran dari para pendahulunya. Secara sederhana demokrasi dapat dimaknai
sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk menghantarkan
keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang
mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat (Agustino,
2007). Ada beberapa catatan penting dalam rangka mewujudkan penguatan hingga
pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal dalam proses pemilihan atau rekruitmen,
para wakil rakyat mendapat mandat politik dari masyarakatnya (pilkada
langsung). Diantaranya adalah: pertama, dengan pilkada langsung penguatan
demokratisasi di tingkat lokal dapat berwujud, khususnya yang berkaitan dengan
pembangunan legitimasi politik. Kedua, dengan pilkada langsung diharapkan mampu
membangun serta mewujudkan akuntabilitas
(pemerintah) lokal (local
accountability). Ketika seorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah,
maka pemimpin rakyat yang mendapat mandat tersebut harus meningkatkan kualitas
akuntibilitasnya (pertanggungjawabannya pada rakyat, khususnya konstituennya).
Ketiga, apabila local accountability
berhasil di wujudkan, maka optimalisasi equilibrium checks and balances antara
lembaga-lembaga negara (terutama antara eksekutif dan legislatif) dapat
berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi di level
lokal. Keempat, melalui pilkada peningkatan kualitas kesadaran politik
masyarakat sebagai kebertampakan kualitas partisipasi rakyat diharapkan muncul.
Karena masyarakat saat ini diminta untuk menggunakan rasionalitasnya,
kearifannya, kecerdasannya, dan kepeduliannnya untuk menentukan sendiri siapa
yang kemudian dia anggap pantas dan/atau layak untuk menjadi pemimpin mereka di
tingkat provinsi, kabupaten, ataupun kota. Selain itu mekanisme ini juga
memberikan jalan untuk “me-melek-kan” elite politik bahwasannya pemegang
kedaulatan politik yang sebenarnya tidak berada di tangannya, melainkan
terletak pada tangan rakyat.
Pilkada langsung merupakan
salah satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi di level lokal. Tip O’Neill,
dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa “all politics is local” yang dapat
dimaknai sebagai demokrasi di tingkat nasional akan tumbuh berkembang dengan
mapan dan dewasa apabila pada tingkat lokal nilai-nilai demokraasi berakar
dengan baik terlebih dahulu. Maksudnya, demokrasi ditingkat nasional akan
bergerak ke arah yang lebih baik apabila tatanan, instrumen, dan konfigurasi
kearifan serta kesantunan politik lokal lebih dahulu terbentuk. Di manapun di
belahan bumi ini, keberadaan dan fungsi pemerintahan daerah atau daerah otonom
adalah diupayakan untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (public service delivery). Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah daerah adalah unit organisasi
pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, sehingga di nilai paling
mampu menerjemahkan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan warga masyarakat
setempat yang perlu dilayani atau dipenuhi aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan
oleh pemerintah.
Selain itu, pilkada
langsung pun sangat berhubungan dengan upaya deepening democracy at local
level. Dalam konteks otonomi atau desentralisasi, tentu saja, pilkada
langsung harus dimengerti dan dipahami sebagai fungsi dari penciptaan effective governance. Menurut amanat
Undang-undang Otonomi Daerah yang baru (UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah) bahwa kepala daerah (bupati/wali kota/ dan gubernur) harus
dipilih secara langsung yang koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden
dan wakil presiden secara langsung di tingkat pusat/nasional.
Tingkat kesatuan politik
yang dapat di capai oleh suatu masyarakat pada hakikatnya mencerminkan kaitan
antara lembaga politik dan kekuatan-kekuatan sosial yang membentuknya. Kekuatan
sosial ialah kelompok etnis, keagamaan, teritorial, ekonomis dan status. Dalam
praktek perbedaan antara suatu lembaga politik dengan kekuatan sosial bukan
merupakan perbedaan yang tegas. Secara historis lembaga politik terbentuk
sebagai hasil interaksi dan akibat konflik yang terjadi antara berbagai
kekuatan sosial, maupun karena perkembangan tahap demi tahap berbagai prosedur
dan sarana yang diperlukan untuk mengatasi konflik tersebut.
Pemilu merupakan proses
politik yang secara konstitusional bersifat niscaya bagi negara demokrasi.
Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyata telah teruji dan di akui paling realistik
dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi yang populis,
adil dan beradab, kendati bukan tanpa kelemahan. Di samping merupakan prasyarat
demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap awal dari proses
pelembagaan demokrasi. Perjalanan panjang indonesia dalam menyelenggarakan
pemilu sejak tahun 1955 memberi pelajaran berharga untuk menata kehidupan
bangsa ke depan menuju yang lebih baik. Bangsa indonesia mempunyai komitmen
yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu 2004 dengan format yang berbeda dari
sebelumnya, sehingga azas langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat
dilaksanakan secara benar, konsekuen dan dapat dipertanggungjaawabkan baik
secara hukum, moral maupun politis.
3.2
Hambatan-Hambatan Dalam Pemilu
Ada banyak masalah yang
bisa diidentifikasi selama proses pemilihan kepala daerah. Ia tidak hanya
berlangsung pada tahap persiapan, namun juga terjadi pada tahap pelaksanaan
pilkada, yaitu: pertama, tidak akuratnya penetapan data pemilih dan pada
sebagian daerah menimbulkan gelombang protes dan demonstrasi dari masyarakat.
Kedua, persyaratan calon yang tidak lengkap. Dalam memenuhi persyaratan calon,
terutama yang ijazah sering tidak memenuhi persyaratan, seperti ijazah palsu
dan lain-lain. Ketiga, pengusulan pasangan calon dari partai politik. Berbagai
kejadian di daerah, permasalahan internal parpol dalam menentukan pasangan
calon membuat pelaksanaan pilkada menjadi terhambat. Keempat, KPUD yang tidak
netral. Ketidaknetralan KPUD dalam penyelenggaraan pilkada disebabkan oleh
faktor jangkauan wilayah pilkada hanya se-provinsi atau kabupaten atau kota.
Kelima, panwas pilkada terlambat dibentuk. Terlambatnya pembentukan panitia
pengawas (panwas) pilkada oleh DPRD, sehingga tidak dapat mengawasi seluruh
tahapan pilkada. Berbagai penyimpangan yang diindikasikan terjadi pada masa
persiapan sering tidak dapat ditindaklanjuti, karena panwas pada umumnya
ditetapkan menjelang masa kampanye. Keenam, money politics yang paling menonjol
adalah pasangan calon memberikan sejumlah uang kepada parpol untuk dapat
dicalonkan sebagai pasangan calon parpol dalam pelaksanaan pilkada. Ketujuh,
dana kampanye. Sumbangan dana kampanye pasangan calon sering tidak transparan
dan hasil auditnya terutama sumbangan perorangan maupun perusahaan tidak di
umumkan kepada masyarakat luas. Kedelapan, mencuri start kampanye. Banyak
pasangan calon yang belum memasuki tahapan pelaksanaan pilkada pada masa
kampanye telah memasang iklan di media cetak dan elektronik, spanduk, poster,
baliho, dan stiker-stiker yang dibagikan kepada masyarakat, namun tidak
mendapat tindakan tegas dari KPUD. Kesembilan, dukungan PNS yang tidak netral.
Dalam berbagai kampanye masih ditemukan PNS yang memihak salah satu pasangan
calon dalam kampanye dan banyak terjadi memberi dukungan kepada kepala daerah
yang mengikuti kembali pilkada (incumbent). Kesepuluh, pelanggaran kampanye.
Dalam pengerahan massa kampanye yang paling menonjol adalah pelanggaran lalu
lintas, terutama penggunaan sepeda motor yang digunakan tiga orang tanpa helm,
penggunaan kendaraan instansi pemerintah, dan melakukan kampanye hitam (black
campaign) terhadap lawannya. Kesebelas, intervensi DPRD. Pada umumnya terjadi
apabila DPRD tidak menyetujui pasangan calon kepala daerah yang terpilih dengan
berbagai alasan, sehingga berbagai berkas pemilihan yang dikirim oleh KPUD
tidak diteruskan kepada Gubernur atau Menteri Dalam Negeri, sehingga proses
pengesahan kepala daerah menjadi berlarut-larut, maupun DPRD tidak mau
melakukan sidang paripurna istimewa untuk acara pelantikan kepala daerah.
BAB V
PENUTUP
4.1. kesimpulan
Sosiologi politik sebagai
subject area (bidang subjek), yaitu disiplin yang mempelajari mata rantai
antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur
politik, dan antara tingkah laku sosial dengan tingkah laku politik. Sosiologi
politik sebagai salah satu jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara
sosiologi dan ilmu pengetahuan politik, atau seperti penamaan Sartori ialah,
satu “hybrid inter-disipliner”. Konsep utama dalam sosiologi politik yaitu:
sosialisasi politik, partisipasi politik, pengrekrutan politik, dan komunikasi
politik.
Pemilu merupakan prasyarat
demokrasi sekaligus menjadi pintu masuk atau tahap awal dari proses pelembagaan
demokrasi. Pilkada langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudkan
demokrasi di tingkat lokal. Seperti hal nya akan berlangsung pemilu Gubernur di
Kalimantan Barat bulan september mendatang. Sebagai suatu sistem, demokrasi
telah teruji dan di akui paling realistik dan rasional untuk mewujudkan suatu
tatanan sosial, politik, ekonomi yang populis, adil dan beradab. Demokrasi
dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk menghantarkan
keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang
mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat.
keseimbangan berarti
bahwa tidak ada variabel yang akan
mengubah posisinya atau hubungannya dengan memperhatikan variabel-variabel
lain, yang
akan berakibat bahwa variabel-variabel tersebut telah menyesuaikan diri satu sama lain
dan mencapai suatu “keadaan yang tetap atau homeostatis, menikmati keadaan yang
harmonis stabil dan seimbang”.
4.2 Saran
Dalam menafsirkan fenomena
tentang Budaya Kampanye Dalam Persiapan Pemilu Gubernur 2012 di
Kalimantan Barat, tidak hanya menggunakan pendekatan fungsional struktural dari
Gabriel A. Almond, tetapi juga dapat menggunakan pendekatan lain.
Di dalam budaya kampanye tidak
semua nya berjalan secara fungsional, tetapi pasti akan terdapat indikasi
konflik, maka dari itu di sarankan agar dalam menganalisis fenomena ini dapat
menggunakan perspektif konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo.
2009. Pilkada dan Dinamika Politik
Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
P. Huntington,
samuel. 2003. Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
J. prihatmoko
moesafa, Joko. 2008. Menang Pemilu di Tengah Oligarki Partai. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Dirdjosanjata,
pradjarta & L. Kana, Nico. 2006. Demokrasi
dan Potret Lokal Pemilu 2004.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rush, Michael &
Althoff, Phillip. 1997. Pengantar
Sosiologi Politik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar