By: Nikodemus Niko
Pagi
indah di Lemukutan Island. Betapa indahnya kekayaan bahari Bhumi Khatulistiwa. Ingin
kuucapkan kata “selamat Pagi” ini hanya untukmu. Namun, ibarat bunga yang belum
tersapa oleh kumbang yang akhirnya ia layu. Mungkin begitu rasa ini padamu.
Deburan ombak di pagi ini membangunkan aku dari alam mimpiku. Desahan angin
pagi mengiringi embun menyambut datangnya mentari. Ini bukan tentang awal
semuanya bermula. Rasa ini sejak lama. Dari awal pertama aku mengenal sosok
kamu, yang aku tangkap dari sinyalku adalah decak kekaguman. Entahlah. Rasa
kagum itu darimana asalnya bermula. Yang aku pandang kamu adalah orang yang
berbudi pekerti luhur, santun dalam perilaku dan lisan. Dan, lagi-lagi entahlah
datangnya dari mana, rasa ini semakin tumbuh subur di hatiku.
Ino
begitu aku mengenal namanya. Sosok cowok yang ku kenal sangat berpikiran
dewasa. Ya, mungkin itu adalah bagian dari kriteria pria idamanku. Sejak
pertama mengenalnya aku sempat berpikir bahwa dia sangat mirip dengan nabi
yusuf. Nabi yang sangat tampan yang pernah tertulis dalam Al-Qur’an. Ya, ini
memang sebuah imaji ku semata. Karena aku mengenal seseorang bukan dari fisik,
melainkan dari sebuah hati.
Aku
tau kita memang sangat jauh berbeda, kamu tak akan pernah punya rasa yang sama
denganku. Karena jurang pemisah itu terlalu tinggi untuk kulalui. Aku tidak
pernah berfikir untuk dapat rasakan hal yang tidak biasa ini, sehingga aku
hanya bisa mengagumi dan mengagumimu.
Dapat melihat senyummu dari
dekat adalah anugerah tersendiri bagiku, dapat berbincang walau satu patah kata
denganmu adalah suatu karunia yang terindah. Dan seperti yang terjadi pada hari
ini, kamu tersenyum manis kepadaku. Itu bagaikan suatu mukjizat bagiku.
Mendapatkan senyuman termanis darimu. Ingin kumiliki senyum itu kala setiap
pagi menyapaku. Kala hari mulai dijemput oleh gemintang malam yang akan menebar
indah warni angkasa.
Akhir
pekan begini, biasanya aku habiskan untuk beristirahat dari aktivitas kuliah
yang cukup membuatku pusing. Tapi kali ini weekend aku habiskan bersama
teman-temanku di Pulau Lemukutan, tak terkecuali Ino. Tenda mulai dibangun
penuh sederhana, inilah sebuah usaha. Semua disibukkan dengan aktivitas ringan,
yang pasti tidak seperti saat mengerjakan makalah di perpustakaan. Panas terik
matahari menyengat wajah saat kami melangkahkan kaki menelusuri tepi pantai
penuh bebatuan di Pulau Lemukutan. Ada Ino. Ah... Ini memang moment yang tak
terlalu indah dari melihat senyumnya.
Itulah
bagian dari rasaku kini. Rasa bahagia yang seolah membakar hingga membuat muka
memerah saat memikirkanya. Memang aku mengagumimu, menyukaimu, menginginkanmu,
mencintaimu kemudian menyayangimu. Ah,
itu hanya sebuah mimpi semata bagiku. Entah kenapa aku selalu rindu suaramu,
aku selalu ingin mendengar semua ceritamu. Meskipun suara yang kau miliki hanya
biasa saja, namun di hatiku memberikan kenyamanan sampai aku suka senyum-senyum
sendiri mendengarnya meskipun yang kau katakan saat itu bukanlah hal lucu.
“Ayooo…
cepat masak nasinya!!!” teriak Ririn, Sang ‘Mak Dapok’ di ujung sana. Gelar ini
memang cocok untuknya. Kalau bahasa kerennya ‘Chef’ gitu.
Bbraaakkk…
aku tersentak kaget.
“Eh
maaf-maaf”. Lamunanku seketika buyar, membawa kembali dunia nyata yang jauh
dari apa yang aku bayangkan. Ternyata aku sedang melamun.
Sekian
menit berlalu aku lewati bersama diam yang terlalu sering mengusikku.
“Rin,
nasinya udah mateng, nih. Gue ngerjain apa lagi?”
“Nasi
segitu mana cukup buat kita serombongan. Lu masak nasi lagi.”
Hmmm,
ini kerjaan yang sering dan bahkan tiap hari aku lakukan. Tapi kali ini cukup
memacu ketelitian lebih. Karena memasak dengan kompor gas bukanlah hal yang
mudah. Sehingga aku harus memasak dengan penuh perasaan dan hati.
“Ada
keraknya gak?” Suara terdengar dari sana?
“Ada
gak say? Ino minta keraknya”, ica yang dapat gelar ‘Mak Babu’ mengulangi
pertanyaan yang sama. Gelar ini dia dapatkan karena dia tugasnya hanya nyuci
piring doang.
“Kerak?
Hmm, eh. Ada nih”, aku jadi salah tingkah dan mati gaya dibuatnya.
Ino
sembari mengambil kerak nasi yang masih melekat di bawah panci untuk masak
nasi.
“Enak.
Enak. Ini makanan jarang-jarang aku dapat di pontianak”, ino bicara sambil
menatap ke arahku.
“Itu
masaknya dengan penuh cinta dan perasaan”, ica nimbrung.
Dug,
dig, dag, gup. Aku benar-benar salah tingkah. Degup itu membuat aku tak dapat
menghindari rasa itu.
Melihatnya mengunyah kerak yang
tidak terlalu keras itu membut darahku berdesir dalam. Inikah rasa hati? Yang
mengalir melalui seluruh pembuluh darahku. Oh anak adam, beginikah rasanya
memendam segala rasa yang ada? Aku nggak pernah mau punya perasaan seperti ini.
Kenapa semuanya datang tiba-tiba? Kenapa rasa itu harus untuk dia? Dan beribu
pertanyaan kenapa yang nggak bisa kujawab.
Aku nggak tahu pasti, entah
kapan aku mulai suka diam-diam mencuri pandang ke dia, dan entah kapan aku
mulai rajin nulis kata-kata puitis yang isinya nama dia, yang pasti aku gak tau
kapan perasaan aneh itu terus menghantui. Aku benar-benar terjebak oleh
perasaan nggak jelas ini.
Kalau boleh jujur, sebenarnya
aku nggak bahagia dengan perasaan ini. Diam-diam kagum sama seseorang bukan hal
yang menyenangkan. Apalagi kalau kenyataannya aku tahu orang itu sudah memiliki
kekasih hati, tentunya sama sekali dia nggak akan peduli denganku. Ini memang
menyakitkan.
Memang seharusnya aku berani
ngelakuin apapun karena aku sedang jatuh cinta. Seharusnya aku nggak segan
nunjukin kalau aku suka dan kagum pada dia. Tapi… nggak, aku nggak bisa bebuat
konyol. Lebih baik aku diam dan menyimpannya rapat-rapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar